Sesungguhnya masih ada satu lagi
pergeseran kalau ditanya tentang makna kemerdekaan yang belum terungkap
yaitu kemerdekaan atas ancaman Fatwa MUI dan satu lagi ancaman kalau
kita berbeda pendapat kemudian digerebek sama FPI. Hal ini merupakan
bagian dari ketidak merdekaan atas refleksi kemerdekaan dibidang
keyakinan hidup beragama, yang kemudian menjadi pertanyaan kita bersama.
Sahabat-sahabat sekalian, seandainya manusia pada usia 60 tahun yang
paling bahagia adalah kalau sudah menimang cucu, tetapi pada sebuah
bangsa yang sudah mencapai usia kemerdekaan genap dalam usia yang ke 60
tahun. Dari refleksi kita hari ini apakah negeri kita sudah makmur atau
belum? Sudah adil apa belum? Bangsa kita sudah sesuai dengan cita-cita
kemerdekaan apa belum? Sebagaimana yang tercantum dalam statuta
kemerdekaan dan yang tercantum pula dalam UUD 1945 yang oleh kawan-kawan
saya disepakati untuk tidak di amandemen oleh siapapun dan bangsa
Indonesia manapun.Andai saja orang-orang PKS
seperti Mustofa Kamal semuanya, selesai sudah persoalan bangsa ini. Tapi
persoalannya semenjak saya berkumpul dengan beliau selaku senior saya
waktu menjabat ketua senat di UI dulu yang punya pemandangan seperti
Mustofa Kamal dari sekian banyak jumlahnya, ya Mustofa Kamal sendiri
dari dulu, karena akan menjadi persoalan tersendiri nantinya.
Sahabat-sahabat sekalian setidaknya di tengah kemerdekaan Indonesia yang
genap berusia 60 tahun ini, padahal sudah sering saya sampaikan di
depan kader-kader PMII ternyata masih tetap belum mengalami perubahan
yang sangat berarti bagi bangsa ini.
Pertama, yang masih menjadi persoalan adalah hubungan sipil dan militer,
ini sejak Indonesia merdeka sampai sekarang masih belum selesai hingga
ini akan menjadi bisul sampai kapan pun kalau tidak diselesaikan, setiap
ada calon Presiden, ada calon Kepala Daerah yang berasal dari militer
masih saja ada aktivis terutama PMII, KONTRAS, KOMNAS HAM, pasti akan
membentangkan spanduk dengan pernyataan tolak militer dan sebagainya,
hal ini menjadikan problem yang harus cepat dilakukan redefinisi
bagaimana pola hubungan sipil-militer yang sesuai, hingga ada platform
bersama.
Kedua, yang perlu diselesaikan
yaitu hubungan agama dan negara, ketika ada kasus seperti Ahmadiyah
sebagai salah satu contoh yang semua itu harus diyakini sebagai bentuk
kebebasan berpikir, kebebasan beraliran yang semua itu dilindungi oleh
Undang-Undang Dasar. Perkara benar atau tidak benar itu urusan lain,
perkara sah atau tidak sah itu urusan lain, karena perkara sholat atau
tidak sholat juga perkara lain, perkara mengakui Nabi-nya itu si batu
atau si badui juga perkara lain. Tapi dia masih baik karena punya
keyakinan dari pada tidak punya keyakinan dan hal ini juga dilindungi
oleh undang-undang dan itu Undang-Undang dasar 1945. Tapi dalam
kenyataan yang ada masih saja ada pihak-pihak yang menyerukan fatwa,
serta fatwa itu diserahkan kepada pemerintah dengan secara paksa untuk
menyetujuinya bahkan mengakui dan merespon fatwa tersebut. Hal ini
menandakan masih banyak masalah antara hubungan agama dengan negara,
banyak sekali yang belum disadari antara warga negara bahwa yang namanya
agama adalah urusan private domain atau urusan individu
masing-masing warga negara, sementara negaranya hanya mengurusi
administrasi, keamanan dan lain sebagainya, sebagaimana mengacu pada
bentuk sebuah negara modern inilah yang menjadi inti persoalan yang
kedua.
Persoalan yang ketiga, yang
sampai sekarang sedang hangat-hangatnya yaitu kasus Papua dan Aceh
adalah refleksi dari belum tuntasnya hubungan pusat dan daerah, kita
tidak pernah mempunyai konsep keadilan dan kesejahteraan yang optimal
antara pusat dan daerah pada satu sisi undang-undang otonomi daerah yang
lama dimaknai suatu konsep yang daerah sentris, sebaliknya pada pola
jaman Orde Baru dimaknai terlalu pusat sentris karena itu perlu adanya
suatu keseimbangan bagaimana hubungan pusat dan daerah itu dijembatani.
Munculnya ketidakpuasan di Papua, munculnya pemberontakan di Aceh bahkan
dulu waktu masih Timor timur bersatu dengan Indonesia juga terjadi, itu
merupakan refleksi dari ketidakadilan antara pusat dan daerah.
Keempat, yaitu problem
demokrasi versus nasionalisme, hal ini sangat berbahaya ketika negara
tersebut ditarik dalam sebuah keran demokrasi, tapi kemudian orang
banyak memaknai seakan-akan idiom demokrasi itu tidak lahir dari rahim
kebudayaan Indonesia. Bahkan demokrasi seolah bukan kosa kata dari
Indonesia, bahwa demokrasi yang berindikasi pada sebuah kebebasan,
pengakuan hak-hak seseorang, persamaan, keadilan dan sebagainya sebagai
jargon barat yang harus dilawan serta dihadapkan dengan kultur Indonesia
atau dengan isu-isu nasionalisme. Salah satu implikasi demokrasi dalam
bidang ekonomi adalah privatisasi yang kemudian dihadapkan dengan
nasionalisme padahal tidak ada kaitannya antara dunia privatisasi dengan
dunia nasionalisme. Hal tersebut masih ada (merupakan) persoalan yang
mengganjal di tengah-tengah kita oleh karena itu problem yang muncul ke
tengah-tengah kita sekarang di antara keempat (hal) ini maka harus
diselesaikan secepat mungkin pada kurun waktu Indonesia merdeka yang ke
60 tahun ini.
Pelan-pelan tapi pasti karena persoalan
ini tidak hanya pada persoalan yuridis formal semata, tapi ini adalah
persoalan mentalitas, pola pikir bangsa Indonesia dalam kerangka konsep
dan paradigma
ke-Indonesiaan yang utuh, komprehensif dan utuh. Sehingga dapat
dimaknai sebagai suatu kerangka negara yang pada satu sisi adalah
demokratis, memiliki daya saing tinggi tetap mempunyai spirit
nasionalisme yang kuat, itu kata kuncinya. Untuk memenuhi itu semua
dibutuhkan elemen yang sangat penting yakni bentuk pengawasan DPR
terhadap pemerintah. Kalau kita coba analisis serta bandingkan antara
DPR periode 1999 sampai dengan 2004, itu banyak sekali berbagai bentuk
produk-produk hukum dalam bentuk undang-undang dengan istilah kosa kata
rekan-rekan di DPR pada waktu itu dikatakan alamnya, alam nasroh karena banyak sekali prodak politik dan undang-undang yang dibuat.
Kemudian pengawasan apa yang disampaikan oleh DPR itu selalu mempunyai resonansi yang kuat di tengah-tengah eksekutif tetapi alam nasroh
ini sudah berubah ketika DPR periode 2004 refleksi sampai 10 bulah
terakhir ini berbagai akrobasi politik sebagai bentuk pengawasan yang
dilakukan oleh saudara saya Faisal dari F-PKB dan kawan-kawan mau
membuat interpelasi, angket ini, angket itu dan sebagainya. Semuanya
tidak ada yang menjadi produk politik, semuanya mentah dan
ujung-ujungnya hanya selesai di atas meja, yakni oleh para pimpinan
fraksinya masing-masing. Hal ini juga suatu bentuk pengawasan anggota
DPR terhadap pemerintah.
Tentang kegagalan para pemimpin negeri
ini, dalam konteks demokrasi memang ini suatu pembelajaran yang sangat
besar bagi kita semua. Karena kita belum pernah mengalami sebuah fase
dimana proses demokrasi, stabilitas dan kemakmuran menjadi satu dari
ketiga unsur tersebut menjadi penting dalam membangun sebuah negara,
kalau kita mengutip apa yang disampaikan pada awal-awal Orde Baru bangkit oleh mantan Presiden Direktur ford foundation
yaitu John Jean Jericksen ia mengatakan di dalam kancah demokrasi harus
ada empat elemen yang menyertainya, yang pertama adalah Freedom Society
atau kemerdekaan (kebebasan) masyarakat dalam konteks ini kita sekarang
mengalaminya. Apa saja dapat dilakukan, bahkan ada satu istilah pada
kalangan aktivis, segala hal sekarang ini kita dapat lakukan aktivitas
dari mulai tidur sampai dengan tidur lagi. Namun ada dua hal yang tidak
bebas yaitu merokok di pom bensin (SPBU) dan pakai alas kaki di dalam
masjid karena kalau merokok di tempat pom bensin mesti meledak,
sementara kalau pakai alas kaki di dalam masjid pasti akan terjadi
huru-hara seperti yang terjadi di Tanjung Priok dulu.
Pada era Soekarno
pengembangan elemen kebebasan itu sangat bebas sekali, tapi tidak
stabil, yang terjadi adalah pemberontakan dimana-mana. Sebaliknya pada
zaman Soeharto anti tesa pada zaman Soekarno kondisi negara sangat
stabil, tapi tidak ada kebebasan sama sekali. Jadi kalau misalnya saya
jadi anggota DPR dari partai Golkar pada zaman Soeharto, hadir pada
acara seperti ini jangan-jangan besok akan ada SK pemecatan buat saya.
Tapi karena memang sekarang landscape-nya berbeda jadi
boleh-boleh saja. Sedangkan pada zaman Gus Dur semua hal sangat bebas
dan juga sangat tidak stabil, kondisi negara, segala hal dibicarakan
sebebas-bebasnya. Jamannya Mbak Mega otokritiknya masih agak bebas walau
tak sebebas zaman Gus Dur, pemerintahannya juga kurang stabil,
penggusuran terjadi dimana-mana. Serta rekan-rekan anggota DPR dari PDIP
juga agak kurang bebas terutama sama suaminya Mbak Mega.
Kita berharap banyak sama pemerintahan
SBY sekarang yang dipilih langsung oleh rakyat serta mendapat mandat
langsung dari rakyat, agar selain mendapat kebebasan juga stabilitas dan
kemakmuran dapat tercapai. Karena pada alam demokrasi tidak hanya harus
ada elemen freedom society, melainkan kedua elemen lainnya
juga harus terpenuhi sebagai penopang dari demokrasi itu sendiri. Selain
itu terhadap aktivis pejuang demokrasi juga terdapat social order (ketaatan sosial). Ketiga, adanya law inforcement, sementara
yang keempat adalah sebagai muara terakhir dari tujuan demokrasi itu
sendiri dengan terciptanya suatu kesejahteraan masyarakat yaitu Welfare Society.
Tapi kalau hari ini negara kita menyatakan sudah berada pada alam
demokrasi, tapi kenyataanya tidak adanya kesejahteraan di dalam
masyarakatnya, kita wajib untuk mengevaluasi sistem kenegaraan yang kita
bangun, karena dari sistem yang kita buat adalah terciptanya
kesejahteraan sosial dalam masyarakat.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Amartya
Sen yang sempat meraih nobel berasal dari India dalam bukunya menyatakan
bahwa semakin demokratis suatu bangsa maka akan semakin sejahtera
bangsa itu. Permasalahannya di Indonesia sudah begitu luas karena begitu
demokrasi dibuka, apakah ada tanda-tanda kesejahteraan? Nampaknya
tanda-tanda kesejahteraan itu sudah mulai ada dalam konteks terciptanya
kesejahteraan, serta hendaknya pemerintah dengan tegas untuk secepatnya
menaikkan harga BBM. Kenapa? karena pada satu sisi memang kenaikan harga
BBM itu sangat menyakitkan, tapi tidak ada pilihan lain bagi sebuah
negara yang menganut demokrasi tidak ada yang namanya subsidi, tapi
karena tidak ada keseimbangan di dalam masyarakat, maka tugas pemerintah
adalah menciptakan sebuah kondisi yang demokratis, tapi tidak
terciptanya kesenjangan sosial pangkal persoalannya kan disitu.
Problem hari ini kenapa masih banyak
mahasiswa yang selalu protes ketika BBM dinaikkan karena dengan asumsi
tidak sesuai dengan standar harga. Sementara pelayanan pemerintah
terhadap masyarakat pun tidak sesuai dengan daya beli masyarakat padahal
standar yang terjadi pada harga kopi, besi, baja, semen dan sebagainya
sudah menggunakan standar harga internasional sehingga harganya
melambung tinggi. Sementara kualitas pelayanan birokrasi tidak
menggunakan standar internasional yang sama, hal itu seharusnya juga
menggunakan standar yang sama. Kita ambil contoh, misalnya Estonia
sebuah negara kecil yang penduduknya sekitar satu juta seratus orang,
merdeka pada tahun 1993 karena merupakan pecahan dari Uni Soviet. Negara
ini dijadikan pilot project oleh Michael Volter dalam bukunya on competition
isinya menarik sekali tentang suatu konsep negara kesejahteraan, dengan
berbagai sistem teknologi komunikasi yang luar biasa. Padahal dulunya
negara yang miskin, mereka ikut komunis. Setelah Uni Soviet pecah
kemudian memerdekakan diri dengan melakukan reborn menjadi
sebuah negara yang demokratis, hingga pada tahun 2001 telah masuk dan
memenuhi syarat, hingga diterima menjadi masyarakat ekonomi eropa dan
menjadi bagian dari negara Uni Eropa dengan income perkapitanya sebesar $ 9000 US, bandingkan dengan Indonesia yang hanya sekitar $ 700 US, itu juga tidak merata.
Saya ingin mengatakan, negara yang masih
mensubsidi itu pelan-pelan dicabut karena itu sebuah keniscayaan, jadi
kalau kalian juga mau protes itu juga bagian dari keniscayaan karena
kalian mahasiswa. Bukan mahasiswa kalau tidak protes dan kalau tidak
demonstrasi nantinya tidak mendapat perhatian dari yang lain. Maksud
saya adalah kalau pemerintah menaikan harga BBM adalah keniscayaan tapi
kalau pemerintah di demo mahasiswa habis-habisan juga keniscayaan.
Paling kuat juga cuma satu bulan. Pada tanggal 14 maret tahun 1971
almarhum Subchan ZE diwawancarai oleh harian Pedoman Indonesia yang di
pimpin oleh Rosihan Anwar ketika ditanya persoalan utang Indonesia
termasuk komentar soal korupsi Pertamina yang dilakukan oleh Ibnu Sutowo
kalau saja persoalan ini ditindaklanjuti oleh pemerintah saat itu,
mungkin Indonesia akan terus-menerus menjadi pengekspor minyak di dunia,
lantas apa yang dijawab oleh almarhum Subchan ZE “tidak ada sesuatu
yang baru di bawah terik matahari ini.”
Berkaitan dengan pertanyaan mengenai
lemahnya kinerja legislatif, ada beberapa analisa yang mengatakan
mengapa fungsi pengawasan DPR tahun 2004 sampai sekarang tidak efektif
bahkan tidak mendapatkan resonansi dan respon yang positif dari
eksekutif sehingga banyak anggota DPR yang mengatakan bahwa DPR yang
sekarang itu alamnya, alam taro, jadi kalau alam taro itu nunggu barhasil kalau ada burung ababil datang. Ada banyak analisis tentang itu, pertama bentuk arogansi pemerintah, mentang-mentang
pemerintah sekarang memiliki legitimasi yang kuat bila di banding
dengan DPR, karena pemerintah dipilih secara langsung oleh rakyat hingga
merasa memiliki total and full legitimasi. Sementara anggota
DPR hanya dipilih oleh sekitar, ada yang dipilih dengan jumlah 2 ribu,
17 ribu, ada yang di pilih 23 ribu seperti saya ini, tidak tahu Faisal
(F-KB) jumlahnya berapa? Sehingga kita ibarat kalah awu (baca:
kuat), kalah legitimasi dengan Presiden apabila dibandingkan 40 juta
sampai dengan 60 juta pemilih, putaran pertama 35 juta sementara putaran
kedua ada sekitar 65 juta pemilih. Hal ini yang membuat pemerintah
merasa memiliki legitimasi lebih tinggi.
Kedua, mengapa peran pengawasan
DPR tidak efektif dan tidak memiliki respon dan resonansi politik yang
sangat kuat dari pemerintah, sehingga segala produk hukum dan produk
politik di DPR sampai dengan sepuluh bulan ini baru sekitar dua buah
undang-undang yang di ketok oleh DPR. Ternyata undang-undang yang dibuat
oleh anggota DPR itu adalah undang-undang yang tidak bermanfaat banyak
terhadap rakyat kecil yaitu mengenai industrial yang tidak ada sama
sekali hubungannya dengan petani atau rakyat, dan undang-undang RAPBN.
Seharusnya hal seperti ini dijadikan rutinitas tahunan. Kalau pemerintah
dan DPR membuat suatu rancangan APBN. Akhirnya anggota DPR itu,
walaupun ternyata terpaksa dibuat, karena kalau tidak disahkan nantinya
tidak dapat bagian fraksi-fraksinya, terutama yang menyangkut panitia
anggaran yang ada disini yaitu pak Yacobus (F PDI-P) dan Faisal.
Ketiga, adalah
ketidakseimbangan berbeda dengan dahulu, mengapa dulu peran dari DPR
sangat penting, karena kekuatan oposisi dengan kekuatan pemerintah lebih
kuat kekuatan oposisi, dulu pada waktu jaman Gus Dur praktis hanya PKB
dan 1/3 dari PDI-P yang mendukung Gus Dur, tetapi sekarang praktis yang
menjadi oposisi murni hanya PDI-P kalau Faisal hanya mengikuti walau
hanya sedikit-sedikit, karena landscape yang tidak seimbang
ini, apapun yang dilakoni oleh PDI-P bisa ditakar oleh kekuatan politik
pendukung dari pemerintah paling maksimal sekitar 150 versus 400 yang
mendukung pemerintah. Berbeda seandainya dulu, misalkan koalisi
kebangsaan masih utuh, itu lain hal ceritanya, pasti dunia demokrasi
akan lebih menarik. Kalau hangat-hangat sedikit, mahasiswa juga memiliki
peran untuk demontrasi, kalau tidak ada hangat-hangat sedikit sampai
tidak ada kegiatan, buatannya hanya selamatan seperti ini, yang
menandakan bahwa membuat fungsi pengawasan seolah tidak ada. Hal ini
menimbulkan pendapat-pendapat yang ada kalau menurut saya sebagai
rekomendasi adalah dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan atau
analisis.
Keempat, memang kualitas dari
anggota DPR sangat tidak mumpuni, sehingga tidak punya resonansi yang
kuat, tapi kalau tidak mempunyai kualitas saya tidak percaya karena
disitu ada Didik J. Rachbini. Ada orang hebat, termasuk ada saya juga, kok
masih begini kalau dikatakan tidak hebat, yang jelas tidak seperti itu.
Oleh karena itu, saran saya ke depan kalau fungsi pengawasan ini
dibiarkan berjalan seperti sekarang ini akan tidak baik, rekomendasi
saya adalah pertama tidak ada pilihan lain ke depan harus ada distrik
pemilihan DPR, supaya legitimasi DPR dengan legitimasi pemerintah sama.
Hingga pemerintah tidak lagi merasa arogan, mentang-mentang tidak bisa menjatuhkan kemudian dia tidak mendengarkan aspirasi dari anggota DPR, ini yang pertama.
Kemudian yang kedua ketika landscape
politik dimana posisi DPR lemah seperti sekarang, yang dilakoni oleh
PDI-P dalam situasi seperti ini, maka mau tidak mau dalam rangka
meningkatkan kontrol terhadap pemerintah harus dapat melibatkan atau
berkoalisi dengan kelompok civil society agar lebih massif
gerakannya serta lebih banyak berkoalisi dengan LSM, mahasiswa dan
rakyat serta kelompok-kelompok lain, agar dapat melakukan pressure
dan melakukan pengawasan kepada pemerintah. Alhasil ketika oposisi
melemah maka sangat dibutuhkan gerakan ekstra parlementer ini ketika
parlemen tidak berfungsi, atau tidak sensitif terhadap problem yang ada.
Tapi menurut saya sampai saat ini Golkar selalu sensitif dan selalu
responsif sehingga tidak perlu ada kekutan seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar