Beberapa personel polisi juga memanfaatkan waktu dengan melepas
ketegangan itu. Semuanya tampak tenang. Dan, Adi Andojo pun bertolak
pulang. Seperempat jam kemudian, 16.30 WIB, seorang lelaki yang berdiri
di tengah kerumunan mahasiswa berteriak agar para mahasiswa
menghentikan protes.
Mahasiswa meneriaki lelaki itu sebagai agen intelijen dan mulai
menggebukinya ketika dia berusaha lari sejauh 50 meter menuju garis
polisi. Baru kemudian diketahui bahwa lelaki itu bernama Masud,
mahasiwa Trisakti yang drop-out. Polisi maupun militer tidak mengklaim
Masud adalah orangnya.
Karena Masud, suasana menjadi tegang kembali. Namun, Kepala Satpam
Trisakti Arri Gunarsa dan Julianto mengingatkan rekan-rekannya agar
tetap tenang dan kembali ke kampus. Pada pukul 16.45 WIB, seorang
letkol polisi menghentikan perundingan. Mahasiswa diberi deadline 15
menit agar meninggalkan jalan raya. Sekitar 100 mahasiswa menolak
seruan itu dan tetap berdiri di depan barikade polisi.
Menurut Julianto, tiga atau empat polisi berusaha menghalau mereka agar
mundur. Memang, mahasiswa berusaha terus merangsek, meski tidak
sampai melewati garis batas mereka sendiri. Polisi mengklaim mahasiswa
kemudian menyulut kericuhan. Tetapi, para saksi mata mengatakan bahwa
suasana sebenarnya mulai tenang.
Sekitar pukul 17.20 WIB, seseorang meletupkan senjata ke udara. Polisi
pun membalas dengan melepaskan tembakan gas air mata, memukulkan
tongkatnya, dan menembakkan senjata. Mahasiwa berlarian berlindung di
gedung-gedung sekitarnya dan di bawah payung penjaja minuman di pinggir
jalan. Tetapi, polisi terus memburu mahasiswa hingga ke pintu gerbang
kampus. Cukup sampai di pintu gerbang itu saja. Tetapi, peluru-peluru
terus melesat. Sebutir peluru karet menghantam punggung Julianto yang
saat itu sudah di depan kantor senat.
Spoiler for Aparat Keamanan:
Menghadapi keadaan itu, dari dalam kampus, mahasiwa membalas dengan
melemparkan botol dan batu ke arah polisi. Saat itu, mahasiwa yakin
benar bahwa peluru yang diberondongkan kepada mereka adalah peluru
karet. Mereka yakin bahwa polisi dan tentara pasti mengikuti prosedur
dalam menangani aksi-aksi demonstrasi.
Itu terlihat jelas dalam satuan-satuan yang diturunkan untuk
mengamankan aksi di Trisakti ini. Seperti pemakaian empat lapis
kekuatan: polisi di depan dengan tameng, pelindung tubuh, dan
pentungan; lapis kedua adalah polisi yang bersenjatakan gas air mata
dan senapan stun (yang bisa membuat korban cuma pingsan); lapis ketiga
adalah tentara dengan gas air mata dan senapan berpeluru karet; serta
lapis keempat terdiri atas satuan khusus polisi dan tentara bersepeda
motor yang bersenjatakan senapan air.
Pada hari itu, dua komandan polisi kemudian bersaksi bahwa personel
sama sekali tidak memakai amunisi hidup, tetapi mereka membawa senapan
laras Steyr AUG dan SS-1 yang diisi dengan peluru kosong dan 12
peluru karet, plus SS-1 yang masing-masing diisi lima gas kanister.
Namun, "seseorang" benar-benar memakai peluru nyata.
Beberapa saksi mata mengatakan, polisi berkendaraan sepeda motor
melesat di atas jembatan layang yang membentang paralel antara kampus
Trisakti dan jalan tol. Mereka mengenakan seragam polisi Brigade Mobil
(Brimob). Kemudian, kedua perwira militer mengatakan kepada Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa sepekan sebelum
demonstrasi itu, empat anggota unit Brimob raib bersama seragamnya.
Siapa pun para lelaki di jembatan layang itu, mereka benar-benar jitu
membidikkan peluru nyatanya. Pukul 17.30 hingga pukul 18.00 WIB, empat
mahasiswa gugur tertembus peluru di kepala, leher, dada, dan punggung.
Sementara itu, sebagian besar korban luka masih berhadapan dengan
polisi. Mereka berusaha membuka barikade dengan melempari polisi dengan
batu. Korban gugur pertama Hendriawan Sie, 20 tahun, kemudian
dilarikan Arri secepatnya ke RS Sumber Waras yang terdekat. Sayang,
nyawa Hendriawan yang lehernya tertembus peluru saat berada di balik
pintu gerbang kampus itu tidak tertolong. Darah terus mengucur dari
lehernya. Dalam perjalanan menuju kampus itulah, dia gugur.
Elang Mulya Lesmana, 19 tahun, ditembak di dada dan langsung tewas di
kampus. Hafidhin Royan, 21 tahun, ditembak di kepala dan meninggal di
rumah sakit. Lalu, Hery Hartanto, 21 tahun, ditembak di punggung ketika
dia berhenti berlari untuk membersihkan perih di matanya yang terkena
gas. Dia meninggal di kampus itu.
Spoiler for Pahlawan Reformasi:
Menurut kepolisian dan seorang sumber yang dekat dengan militer, peluru
yang dipakai membunuh empat mahasiwa itu jenis 5,56 mm MU5 yang
dilesatkan dari senapan laras Steyr AUG. Padahal, aparat polisi yang
diterjunkan untuk mengamankan demo Trisakti itu dibekali MU4.*
Spoiler for Break Sejenak:
Hasil yang menguatkan polisi tidak terlibat dalam insiden pembunuhan
itu tidak lain berupa bukti peluru yang diambil dari jasad Hery pada 7
Juni lalu. Satu-satunya bukti kuat bahwa polisi memang tidak
terlibat.
Empat nyawa sudah melayang. Tetapi, mahasiwa masih mendengar tembakan
sporadis pada pukul 18.00 hingga pukul 19.00 WIB. Beberapa saat
kemudian, korban terakhir bernama Sofyan Rachman ambruk ke tanah. Hingga
sekarang, Sofyan masih berada dalam perawatan intensif untuk
memulihan luka di dada yang juga menggores ginjalnya.
Pukul 20.00 WIB, Intan, mahasiswi fakultas hukum, keluar dari kampus
dengan mengenakan pakaian putih. Dia berteriak kepada polisi bahwa
orang-orang di dalam kampus butuh pertolongan medis. Setelah itu,
tembakan pun berhenti. Seketika itu pula, 35 orang terluka dilarikan ke
rumah sakit, meski sebelumnya polisi menolak memberikan jaminan
keamanan ambulans yang membawa para korban itu.*
Selain itu, kata Arri, komandan polisi telah memberi tahu dia bahwa
luka-luka mahasiswa tersebut tidak mengancam nyawa. Sebab, peluru yang
dipakai terbuat dari karet.
Beberapa saat setelah penembakan Trisakti itu, kawasan etnis Tionghoa
di Sunter dalam keadaan siaga. Malam itu, Imam Suyitno warga sipil
yang sudah dilatih meminta bala bantuan tentara dalam keadaan darurat
diperintahkan mengorganisasi pemantauan keamanan. Dia berdiri
mengawasi keadaan di pintu gerbang pusat perbelanjaan di kawasan itu
bersama rekan-rekannya.
Malam itu, mereka melihat sebuah truk AD yang berhenti di belakang
supermarket. Sekitar 20 orang lelaki berpenampilan serem (garang) turun
dari truk itu. Tetapi, kata Imam, sebelum turun, wajah-wajah sangar
itu menerima sesuatu dari seorang lelaki. Lelaki ini kemudian lenyap
ditelan kegelapan malam.
13 MEI: Pukul 09.15 WIB, ribuan mahasiswa menghadiri upacara
belasungkawa di Trisakti. Sebuah tenda plastik bernoda darah berdiri di
atas jalan setapak dekat Gedung M. Bendera berkibar setengah tiang.
Di sana hampir semua tokoh pengkritik pemerintah hadir memberikan
orasi. Kaum selebriti politik Indonesia mengatakan, era baru segera
datang. Setelah itu, kata saksi mata, keadaan berubah cepat.*
Spoiler for Suasana Berkabung:
Kerumunan massa yang ditolak masuk dan semula di depan pintu gerbang
kampus kini mulai meruah dan melakukan keributan di jalanan. Mencium
gelagat brutal itu, mahasiswa yang di lingkungan kampus bertekat tidak
akan beranjak keluar menuruti seruan bergabung massa di luar. Massa
pun mulai kalap. Mereka menghitamarangkan mobil-mobil yang diparkir
dekat Mal Citraland. Dua boks gerbang pembayaran tol disulut api.
Kerusuhan meluas di wilayah Jakarta Barat, lalu terus meluas.
Ketika asap membumbung dari bangunan-bangunan Jakarta, pengacara
kesohor Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto
menemui Prabowo di markas Kostrad. Mereka bicara selama 30 menit. Di
hadapan Prabowo, Buyung dan Bambang menanyakan keterlibatan menantu
Soeharto itu dalam insiden penculikan beberapa aktivis politik.*
Spoiler for Pengacara Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto:
Buyung dan Bambang merasa perlu menanyakan hal itu didasari pikiran
bahwa adanya konflik antara Prabowo dan Wiranto. Di hadapan dua
praktisi hukum senior itu, Prabowo bersumpah tidak tahu-menahu soal
penculikan para aktivis tersebut. Prabowo juga menolak dugaan bahwa
dia berseteru dengan Wiranto.
Kerusuhan terus meluas di luaran. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.00
WIB, kata seorang perwira tinggi, Wiranto memerintahkan (kala itu)
Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin agar mengirim pasukan untuk
mengontrol aksi kerusuhan yang kian luas itu. Sjafrie benar-benar
menurunkan pasukannya di jalan-jalan. Namun, ternyata dia tidak
memberangkatkan atau menempatkan pasukannya di beberapa wilayah yang
sebenarnya sangat membutuhkan. Bahkan, dia tidak memberikan perintah
yang jelas kepada pasukannya itu.
Menurut sumber perwira tinggi itu, Sjafrie malah membuat pasukannya
bingung. Mereka yang bermarkas di wilayah barat di Jakarta
diperintahkan pergi mengamankan di wilayah timur, dan sebaliknya. Saat
itulah Prabowo mendesak Wiranto agar memberinya izin menurunkan unit
pasukan elite cadangan di ibu kota. Tetapi, Wiranto menolak.
Spoiler for Sjafrie Syamsoeddin:
Sekitar pukul 19.00 WIB, Wiranto melakukan inspeksi dengan Sjafrie.
Saat itulah, Wiranto merasa tidak cocok terhadap tindakan yang
dilakukan Sjafrie. Karena itu, Wiranto kemudian meminta Pangdam
Diponegoro mengirim pasukan ke Jakarta.