A. Hantaran
Paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya
“The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert
Friederichs (The Sociologi Of Sociology; 1970), Lodhal dan Cardon (1972),
Effrat (1972), dan Philips (1973).
Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma yaitu :.
a. Paradigma metafisik
yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
b. Paradigma Sosiologi
yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang
diterima secara umum.
c. Paradigma Konstrak
sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya
paradigma pembangunan, paradigma pergerakan
Masterman sendiri
merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi
pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its
subject matter).
Sedangkan George
Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari,
persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya
menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab
persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana
sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk
melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial
ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
B. Apakah yang disebut Teori kritis?
Apa sebenarnya makna
“Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti
dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori
kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti
terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa
lepas dari Madzhab Frankfurt.
Dengan kata lain,
teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas
Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis
menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun
1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan
epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis)
dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian).
Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas
(kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman.
Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).
Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).
Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.
Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
a. Teori Marxian
yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi.
b. Positivisme dalam
Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora
katakanlah kritik epistimologi.
c. Teori- teori
sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo.
d. Kritik terhadap masyarakat modern
yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang
gagal membebaskan manusia dari dominasi.
e. Kritik kebudayaan yang
dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab Frankfrut
mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis)
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis)
2. Berpikir empiris-historis
3. Berpikir dalam
kesatuan teori dan praxis
4. Berpikir dalam realitas yang
tengah dan terus bekerja (working reality).
Mereka mengembangkan apa yang
disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini
bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam
masyarakat.
Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
1. Kritik dalam pengertian Kant.
Immanuel Kant
melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif
sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant
menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat
pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of
possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant
terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam)
bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat
menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam
pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan
klaim pengetahuan tanpa prasangka.
2. Kritik dalam pengertian Hegelian.
2. Kritik dalam pengertian Hegelian.
Kritik dalam makna Hegelian
merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant
berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori.
Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh
pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode
berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya
yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga,
berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas
berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh
apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik
dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan
kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah
manusia.
3. Kritik dalam pengertian Marxian.
Menurut Marx, konsep Hegel
seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian
dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah
pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan
material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal
produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha
mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa
di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk
mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh
hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
4. Kritik dalam pengertian Freudian.
Madzhab frankfrut menerima
Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis
masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat.
Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya.
Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan
untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam
pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan
represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian
yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi
marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis
adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip
obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang
emansipatoris harus memenuhi tiga syarat:
a. Bersifat kritis
dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
b. Berfikir
secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
c. Tidak
memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata
untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
C. Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan
Paradigma Sosial
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma
:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
Inti dari
paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial
yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan
saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan,
peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional
terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme
fungsional.
Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.
2. Conflic Paradigma (Paradigma Konflik)
Secara
konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan
kenyataan bahwa :- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan-
Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang
sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious
circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih
lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap
komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi
instrument perubahan.
3. Plural Paradigma (Paradigma plural)
Dari
kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut
melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural.
Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan
memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan
realitas sosial yang ada disekitarnya.
D. Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga
paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru.
Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah
dilakukan kolaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.
Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada :
a. Analisis struktural:
membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat,
untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi
sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
b. Analisis
ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun
internasional.
c. Analisis kritis
yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama,
nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi
suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
d. Psikoanalisis
yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
e. Analisis kesejarahan
yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat,
aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan
kemunduran suatu masyarakat.
E. Kritis dan Transformatif
Namun
Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa
yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme
working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan
eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap
formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term
Transformatif” melengkapi teori kritis.
Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain :
Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain :
1. Transformasi dari Elitisme ke Populisme
Dalam model
tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan
gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal
isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang
digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan
pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh
akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa
yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang
dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu,
kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar
sejarah kita sendiri. Karakter
gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat
horisontal.
2. Transformasi dari Negara ke Masyarakat
2. Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model
tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian
kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx
terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute
yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya.
Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang
paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam
satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah
yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna
transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat
bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi
disetiap bangsa atau Negara.
3. Transformasi dari Struktur ke Kultur.
3. Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Bentuk
transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal
ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa
kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang
dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat
desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan
pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling
mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya
benturan sosial di lapangan.
4. Transformasi dari Individu ke Massa
Model
transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam
disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang
sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini
sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya
hidup bergotong royong.
Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).
F. Fungsi (PKT ) yang diterapkan di PMII ?
Dari paparan
diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia,
dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis,
karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan.
Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi
penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. (Lap-jetlie)
Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. (Lap-jetlie)
Strategi Pengembangan PMII
Sebagai organisasi
gerakan dan pengkaderan, PMII harus tetap mempunyai komitmen untuk bisa survive
dalam semua kondisi, situasi dan segala bentuk perubahan tatat aturan amain baik
di Indonesia (nasional) maupun internasional. Hal ini menjadi logis, karena
PMII didirikan buka untuk bertahan dalam kurun waktu selama 1,2, ….10 tahun,
tetapi PMII ada untuk tetap memperjuangkan social mandatory dan amanat
sebagaimana termaktub dalam Nilai Dasar Pergerakan dan visi-mis organisasi.
Untuk itu kemampuan dan analisa PMII sebagai organisasi untuk melihat segala
fenomena dan bentuk perubahan perilaku baik individu, Negara masyarakat dan
dunia menjadi mutlak keberadaannya.
A. Mencari
Modal Gerakan
Tatapan Internacional
a. Keberadaan Indonesia
tidak lepas dari pergerakan diluar apalagi dalam trend dunia yang mengglobal.
Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari, globalisasi
akan menciptakan pasar perekoneomian dunia menjadi menyatu (borderless market)
tak hanya pada sector ekonomi, social budaya pun mengalami hal yang serupa
(borderless society). Globalisasi telah menciptakan idealisasi global yang
mengakibatkan transedensi dari nilai-nilai etatosentris. Nilai-nilai baru tersebut
mengatasi keterlibatan dengan nilai-nilai berbangsa menuju nilai-nilai yang
berlaku universal. Hal ini berarti akan terjadi pergeseran atau perubahan
penghayatan nilai-nilai yang mengakibatkan adanya suatu goncangan budaya
(cultural shock).
Menurut konsepnya Ernest Renan, bangsa merupakan suatu kelompok manusia
yang mempunyai kehendak atau tekad untuk tetap hidup bersama (le desire de
vivre ensamble) yang mempunyai suatu rasa senasib dalam masa lampau terutama
didalam penderitaan bersama.
Bangsa Indonesia adalah sebuah lokus yang didalamnya terdapat kekayaan
tradisi, sistem nilai, cita-cita luhur kemanusiaan, moralitas keagamaan, dan
naluri social untuk membentuk sebuah Negara bangsa (nation state) yang
didalamnya kita semua bisa tumbuh dan tinggal secara nyaman dan beradab.
Pertumbuhan inilah yang secara social-antropologis kita sepakati sebagai
‘’kontrak sosial’ dan ‘komitmen politik’ untuk bersama-sama membangun, menjaga
dan memiliki rumah Indonesia yang harus menjaga etika bertetangga dengan rumah
bangsa dan negara lain.
b. Konsolidasi politik negara-negara Eropa dan Amerika
yang banyak menganut demokrasi liberal pasca perang dunia ke-2, untuk
menciptakan format baru penjajahan dari kolonialisme dan imperialisme lama.
Konsolidasi tersebut menghasilkan adanya pertukaran politik global sehingga
memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi
multilateral, dan regulasi internasional dan pembentukan-pembentukan institusi
politik global, seperti PBB, EEC (Economic Europe Comunity), Uni Eropa, NAFTA
etc.
Institusi politik internasional inilah akan menciptakan role of the game
atau aturan main percaturan politik global berskala internacional khususnya
yang menyangkut isu-isu perdagangan, perang dan perdamaian. Perkembangan
politik internasional tersebut akan menghilangkan sekat-sekat batas negara
sehingga akan memunculkan rezim internasional yang mempunyai pengaruh cukup
signifikan dan memiliki otoritas untuk menentukan masa depan negara-negara yang
lain.
c. Posisi
Indonesia yang merupakan bagian dari dunia, tidak akan mungkin lagi terhindar
dari proses internasionalisasi politik tersebut, apalagi dengan kondisi geografis
Indonesia yang sanagat strategis. Indonesia akan kehilangan banyak peran dan
hanya menjadi bagian kecil dalam pentas dunia. Pemerintah Indonesia dan
negara-negara ketiga lainnya akan semakin kehilangan kontrol atas arus
informasi, teknologi penyakit, migrasi, senjata, dan transaksi finansial baik
legal maupun ilegal yang melintasi batas-batas wilayahnya. Aktor non negara ,
mulai dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non profit akan semakin
memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasional. Kualitas
pemerintahan nasional dan internasional akan ditentukan oleh tingkat
keberhasilan negara dan masyarakat dalam mengatasi kekuatan-kekuatan global
diatas.
d. Oleh Karena itu, kita perlu melihat Indonesia dalam
gambar dan ruang yang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat Indonesia
sebagai bagian dari sebuah sistem dunia yang sedang berjalan, kita dapat
mengenali relasi apa yang sedang terjadi dalam sebuah peristiwa. Dengan
mengenali relasinya kita dapat melihat pola-pola yang digunakan oleh sistem
tersebut untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif sistem
dunia ini, lalu bagaimana kita menhubungkan perubahan-perubahan internal
Indonesia dengan sistem dunia ini? Jawaban ada pada diri kader Pergerakan.
B. Stretegi dan
Taktik Kaderisasi
Sebuah gerakan yang
rapi dan masif harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi
dan wilayah perbutan. Tanpa menggunakan logika ini maka gerakan akan selalau
terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa meninggalkan apa-apa
selain kemasyhuran dan kebanggan diri semata.
1. Realitas dan Taktik Kaderisasi
a.
Sistem
Rekruitmen
-
Pertimbangan
Emosional (Persahabatan)
-
Pertimbangan
Ideologis (karena sama-sama NU)
-
Pertimbangan
Pragmatis
b.
Sistem
Pengkaderan
- Terjebak
pada rutinitas pengkaderan formal
-
Lemahnya infrastruktur pengkaderan (materi, hand out,
Fasilitator etc)
-
tidak adanya materi pengkadetran yang berbasis
akademik/fakultatif
- Kentalnya
Hegemoni senior (baca : alumni)
- Terabaikannya
kader dari kampus umum atau eksakta
c.
Medan
Distribusi
-
Alumni hanya
berkumpul pada satu bidang saja (Parpol, Birokrasi, LSM, Wartawan)
-
Ketidak mampuan merebut atau menciptakan ruang baru
untuk pendistribusian kader
2. Tawaran
Solusi
Dengan realitas
pengkaderan tersebut maka diperlukan antara lain :
1.
Selektifitas pola
rekrutmen kader.
2.
Pengadaan Materi pengkaderan yang layak dan fakultatif
3. 30 %
kurikulum pengakderan berisi muatan local
4. Adanya
pelatihan instruktur atau fasilitator pelatihan secara berkala
5. Sistem
Pengkaderan di PMII harus mempertimbangkan basic keilmuan kader
6. Membangun
komunikasi yang startegis dan non hegemonik dengan alumni
7. Merebut
serta berusaha untuk mencitpakan medan distribusi bagi kader-kader PMII di
dunia profesional.
Berikut ini skema
proses kaderisasi yang harus terjadi di PMII. Skema di bawah ini tidak boleh
ada keterputusan antara suatu proses dengan proses yang lainnya, karena antara satu
dengan yang lainnya saling terkait, dan proses tersebut akan berjalan terus
menerus. Skema ini paling tidak memberikan sedikit gambaran kita bahwa sistem
pengkaderan PMII jangan hanya terfokus pada sisi internal saja, artinya,
mencetak kader sebanyak-banyaknya tetapi tidak tahu mau didistribusikan kemana
kader-kader tersebut. Untuk itu sudah saatnya kita berfikir realistis, bahwa
tanggung jawab PMII secara organisasional juga terletak pada sisi
pendistribusian kader pada medan-medan distribusi. Skema Strategi dan taktik
pengakaderan PMII
C.
Paradigma/ Cara Pandang Gerakan
Sebagai organisasi
gerakan, PMII harus tetap menujukkan sifat kohesinya terhadap segala bentuk
ketidak adilan,. Untuk itu diperlukan adanay cara pandang organisasi terhadap
segala bentuk ketidakadilandan segala bentuk perubahan perilaku individu,
masyarakat, negara dan dunia. Membangun paradigma gerakan memang sesulitr
membaca kenyataan yang semstinya menjadai pijakan paradigma itu. Paradigma yang
baik adalah paradigma yang yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun
yang dipadukan dengan kenyataan hari ini.
Dengan selalu
berangkat dari kenyataan riil, kita akan mampu menangkap struktur apa yang sat
ini sedang bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila
(free wheel) peradaban yang hegemonik. Selama ini nalar mainstream yang
digunakan dalam penyusunan paradigma PMII adalah nalar yang berangkat dari
asumsi yang belum tentu terkait dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi. Jadi
konsep ideal (logos) itu dianggap lebih penting dan ideal daripada kenyataan.
Pertanyaanya
kemudian, apakah Paradigma Kritis Transformatif (PKT) masih relevan untuk
menatap realitas perubahan saat ini?. Jawabnya masih relevan, hanya problemnya
terletak pada cara pandang dalam menatap sebuah realitas kekinian saja. Namun
perdebatan tentang layak tidaknya PKT tersebut dirubah atau tidak forum
Muspimnas bukanlah m,erupakan forum yang legitimate untuk merubah PKT tersebut
dan hanya forum kongres lah yang legitimate untuk merubah paradigma PKT
tersebut.
Namun beberapa
catatan yang harus diingat tentang paradigma itu anatara lain:
1. Paradigma
tidak boleh resisten terhadap segala bentuk gejala dan perubahan siklus dan
perilaku individu, masyarakat, negara dan dunia. Jika PMII tidak ingin tergilas
oleh roda gila yang sedang berjalan, yaitu globalisasai.
2. Paradigma
harus disertai dengan contigency plan yang dapat menyelamatkan organisasi dalam
situasi apapun.
3. Paradigma
yang didorong oleh startegi, sehingga pardigma tidak dianggap suatu yang baku.