Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang
berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan
pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi
pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6
jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal
dengan peristiwa G30S/PKI.
Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk
Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging (ISDV) atau Persatuan demokrat hindia Belanda. pada awalnya partai ini terdiri dari 85 orang yg terdiri dri anggota dua partai yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda. Pada bulan Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa
Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf
Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia.
Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari
semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia.
Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan
anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas
dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari
ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan
membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka".
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober
seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini
berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut
Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah"
dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang.
Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya,
sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan
membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas
dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim
kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di
kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah
tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain,
Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa,
ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan
organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi
mayoritas orang Indonesia.
Awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam.
Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para
anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam
melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar
ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran
komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang
disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi
ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat
sebagai ketua partai. PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari
Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada
kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan
kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya
sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh
penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang
ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke
Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua. Beberapa orang meninggal di
dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi
sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan mendukung pemberontakan
kaum komunis.
Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di
dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak
tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak
massa terutama di Sumatera. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap
sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral
perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru
terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan
Silungkang di Sumatera.
Pada masa awal pelarangan, PKI berusaha tidak menonjolkan
diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada
1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet,
untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Moeso
hanya tinggal sebentar di Indonesia. walaupun begitu PKI tetap bergerak dalam berbagai
front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda,
PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan
organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian
berada di dalam kontrol PKI. sehingga ini memungkonkan PKI untuk lbh maju kedepan,
Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan
pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai
Perundingan Renville, yang mana isi perjanjian Renville adalah :
1. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
Perjanjian ini dianggap menguntungkan posisi Belanda.
Sebaliknya, RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit
wilayah yang dimiliki. Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap
merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia
terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet
Hatta.
Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada
28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai
oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan
kekuasaan.
Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan
melancarkan propaganda anti pemerintah, mengadakan
demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan
politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat. Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang
sejak lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan
Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil
mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya
meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan
menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta.
Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948
di Madiun, Jawa Timur. Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan
negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini
beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat
yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat
rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI
memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak
cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di
Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi
penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat
diduduki kembali oleh TNI dan Polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil
ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan
organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada
1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah
pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis
dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok
di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman,
Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30
tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar
3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5
juta pada 1959.
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang
diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta.
Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk
sementara waktu.
Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari
keseluruhan suar
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan
yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang
diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan
yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di
beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut
supaya PKI dilarang.
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di
bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang
dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan
PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan
Sukarno yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik
sayap kanan. Mereka juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam
melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak
merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di
Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang
disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di
wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung
upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan
Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI.
Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan
Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya.
Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan
dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI
sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya
dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai
sebuah front bersatu yang multi-kelas.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang
pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan
RRC. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi
massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia),
Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan
Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan
seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah
payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI,
Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April
1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah
Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang
pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah
Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden
Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo
dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk
ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan
pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil
mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun
demikian kebanyakan dari mereka ditangkap.
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan
diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani,
kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti
Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI
AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI
dengan "tentaranya". isu inilah yg di kembangkan PKI dengan menyatakan pihak TNI ingin menguasai indonesia dan mereka tampil sebagai aktor utama yg bertugas dalam penyelamatan president dan Indonesia, di tambah lagi dengan cara menyebarkan isu TNI akan meruntuhkan rezim kepresidenan indonesia dan menguasai indonesia sehingga menjadi suatu negara otoriter dan tidak berasaskan sosialis ataupun sistem kerakyatan,
Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik beberapa bulan menjelang
Peristiwa G30S, makin agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung
Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap apa yang
disebut "kapitalis birokrat“terutama yang bercokol di
perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak
menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7
setan desa“, serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya bertitik berat kepada
"kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya, adalah
pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI, sesuai dengan
statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah
berdominasi. Anggapan bahwa partai ini berdominasi, pada
akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.
Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan
Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman
(Syam), bermarkas di rumah sersan Suyatno di komplek perumahan AURI,
di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel
A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di
Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung
PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS
(Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung
Samsuri. Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI
mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang
dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah
nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme
pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini
tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan
menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke
Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh
teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya.
Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30
September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang
berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan
masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa
terjadi. Tetapi perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.
Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina),
Xinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah
masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan
oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI. Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak
terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah
tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu
melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan
membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat
memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan
pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah
malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar