AHLU SUNNAH WA AL- JAMAAH
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman
Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian
menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.
Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan
At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat
mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Di
antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang
murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang
seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya,
apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan
Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry
mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan
Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;
اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى اِثْمًاعَظِيْمًا النساء : 48
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat
syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah
membuat dosa yang sangat besar.”
Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ: وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسل
“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang
kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati
dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk
surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan
mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.”
(Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه البخارى
“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi
ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang
yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya,
Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar
itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana
mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar,
berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut
dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari
jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah,
yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung
bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan
Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga
dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka
terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok
semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang
tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan
sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim,
berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan
pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an
dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan
cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian
disebut kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Sebenarnya pola
pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem
pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para
shahabatnya.
Ahlu Sunnah wa al-Jamaah Sebagai Manhaj al-Fikr atau Mazhab?
Berfikir jernih, luwes dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah
sebuah cita-cita luhur intelektual muda NU yang menyerap banyak
literatur baru dalam hidupnya. Sebuah usaha yang mendapat kecaman hebat
dari para kyai berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun.
Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah kita saat ini? Adakah ia sebuah tradisi yang tak bisa diberantas (Aqidah) atau hanyalah sebuah pemikiran yang debatable?
Apapun ia, tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk
dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU bergeliat
mencari makna kebenaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dikultuskan dan menjadi unthoughtable
para kiai justru akhirnya merasa terancam eksistensinya. Ada apa
dibalik semua ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir muda NU yang banyak
menyoroti tentang hal ini dan akhirnya mendapatkan nasib yang sama
dengan sesama intelektualis mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang
menyatakan ini sebagai madzhab pokok.
Dalam beberapa runutan pemikiran berikutnya, ia banyak menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah
lahir dengan sebab bahwa ini adalah pondasi ideologi yang tak bisa
ditawar-tawar. Pemahaman ini kemudian dikembalikan dengan watak asli Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu
dan hak atas menafsirkan agama dari kesembronoan anak muda. Sebuah
bangunan pengetahuan yang dibenturkan dengan prinsip berfikir yang tawassuth (Moderat), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana inteletualitas ditubuh NU.
Satu kesimpulan awal yang diambil dari pemaparan diatas adalah para
ulama merasa jijik dengan pembaharuan yang berefek pada pengutak-atikan
ideologi yang diajarkan sebagai pondasi awal di pesantren berbasis NU.
Jika dilakukan hal demikian, hancurlah pondasi yang selama ini dibangun,
selain pengkultusan yang juga akan hilang begitu saja, sebuah
penghormatan tinggi kepada kiai.
Berkembangnya dugaan bahwa ini terjadi karena tradisi Islam yang ada
juga masih menimbulkan pertanyaan, karena Islam bukan lahir di Indonesia
tetapi tersebar sampai ke negara ini. Maka, kemudian yang terjadi
adalah bahwa Islam mengelaborasikan diri terhadap tradisi bangsa ini
dengan meng-Islam-kan beberapa diantaranya. Persinggungan inipun menjadi
sebuah masalah, bukan hanya karena belum berhasilnya menghilangkan rasa
ketradisian yang asli, tetapi juga pada sebuah pertanyaan apakah sebuah
tradisi Islam yang ada adalah tradisi asli dari bangsa Arab? atau
jangan-jangan sudah terakulturasi dengan budaya Gujarat?. Hal ini
menjadi sebuah pemikiran serius tersendiri dalam mencapai sebuah
kebenaran.
Lebih lanjut, konstruksi pemikiran yang ada sejatinya haruslah dihapuskan jika memang mau membahas konsep Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
dengan lebih komprehensip. Kalau tidak, yang ada adalah stempelisasi.
Pemurtadan terhadap ideologi yang ada, karena mengutak-atik yang
dianggap tak akan bersalah dan tak dapat disalahkan. Pemahaman yang
sejati tentang makna Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan perdebatannya memang diakui haruslah dimulai dari sebuah asumsi bahwa ia adalah sebuah Manhaj al-Fikr (metode berpikir), bukan madzab yang berkarakteristik sebagaimana di atas.
BAGIAN I
Ahlussunnah wal Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
Ahlussunnah wal Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
Perspektif Sosial Ekonomi
Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
dikerangkakan sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan dan
identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka
teoritis dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah-langkah yang akan
kita ambil baik strategis maupun taktis.
Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas sosial
ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis
persoalan yang ada dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di
antara beberapa persoalan yang harus kita dekati dalam konteks ini
adalah; Pertama, fenomena kapitalisme global yang
termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta
institusi-institusi pendukungnya. Kedua, semakin menguatnya
institusi-institusi ekonmi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut
di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui kekuatan
bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi
global, ataupun melalui TNC atau MNC. Ketiga, liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor -impor.
Fenomena pertama berjalan dengan kebutuhan pasar dalam negeri yang
sedang mengalami kelesuan investasi dan kemudian mendorong pemerintah
untuk mengajukan proposal kredit kepada IMF dan WB. Pengajuan kredit
tersebut membawa konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia
semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini secara praktis
menjadikan Indonesia harus tunduk pada berbagai klausul dan aturan yang
digariskan baik oleh WB maupun IMF sebagai persyaratan pencairan kredit.
Dan aturan-aturan itulah yang kemudian kita kenal dengan structural adjustment program (SAP), yang antara lain berwujud pada; Pertama, pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam negeri yang akan berakibat pada pemotongan subsidi masyarakat. Kedua, dinaikkannya pajak untuk menutupi kekurangan pembiayaan akibat diketatkan APBN. Ketiga, peningkatan suku bunga perbankan untuk menekan laju inflasi. Keempat,
liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi
penguasaan modal pada segelontir orang dan liberalisasi perdagangan yang
mengakibatakan munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang
terbatas. Kelima, privatisasi BUMN yang berakibat pada penguasaan asst-aset BUMN oleh para pemilik asing. Keenam,
restrukturisasi kelayakan usaha yang mengakibatkan munculnya standar
usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha menengah dan kecil.
Karakter umum liberalisasi yang lebih memberikan kemudahan bagi arus
masuk barang dan jasa (termasuk invesasi asing) dari luar negeri pada
gilirannya akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus
bersaing dengan produk barang dan jasa luar negeri. Sementara di level
kebijakan pemerintah semakin tidak diberi kewenangan untuk mempengaruhi
regulasi ekonomi yang telah diambil alih sepenuhnya oleh pasar. Sebuah
ciri dasar dari formasi sosial neo-liberal yang menempatkan pasar
sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk
pada mekanisme pasar yang float dan fluktuatif.
Implikasi yang muncul dari pelaksanaan SAP ini pada sektor ekonomi
basis (petani, peternak, buruh, dan lain sebagainya) adalah terjadinya
pemiskinan sebagai akibat kesulitan-kesulitan stuktural yang mereka
hadapi akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih ketika sektor
ekonomi memperkenalkan istilah foreign direct investment (FDI)
yang membawa arus deras investor asing masuk ke Indonesia secara
langsung. Derasnya arus investasi yang difasilitasi oleh berbagai
kebijakan tersebut pada gilirannya akan melemahkan para pelaku usaha
kecil dan menengah.
Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar catatan kita atas realitas sosial-ekonomi; Pertama,
tidak adanya keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai
dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal
internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi
besar-besaran terhadap kepentingan umat. Terhadap persoalan tersebut
kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran pemihakan kebijakan.
Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang menyatakan bahwa
kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada tercapainya
kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi al-Maslahah).
Kedua, tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas. Arus
investasi yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang
positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun pada
segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat
dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan
distribusi hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. investor
selalu berada dalam posisi yang diuntungkan, sementara pekerja selalu
dalam posisi yang dirugiakn. Sebuah kondisi yang akan mendorong
terjadinya konglomerasi secara besar-besaran. Sehingga diperlukan
pemikiran untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui apa yang kita
kenal dengan profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah.
Sehingga secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang
saling menguntungkan dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas
kerja.
Ketiga, pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab
kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin
dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu mengkebiri hak-hak
pekerja. Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai nominal dan
bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin
menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi
kontribusi yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses
produksi secara umum. Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah
prosentasi hasil) pada seluruh sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan
usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa harus ada distribusi
kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan merata untuk mencegah
adanya konglomerasi ekonomi.
Keempat, tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja.
Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan
oleh perusahaan. Ataupun contoh lain yang mengindikasikan satu
kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan Negara lebih banyak
diorientasikan semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa
pernah memikirkan implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk
potensi dirugikannya masyarakat baik secara ekologis (lingkungan dalam
kaitannya dengan limbah industri), ekonomis (tidak berimbangnya
penghasilan dengan daya beli), ataupun secara geografis (dalam hal
semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak
ada klausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang pasal 28b
UUd 1945 serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan
kepada konferensi ILO.
Kelima, perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan
mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana kebijakn
investasi dan kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan secara langsung
dengan hajat hidup orang banyak. Ini diperlukan untuk mengantisipasi
potensi resistan yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan
dari setiap kebijakan. Berkaitan dengan ini smapai di level
kabupaten/kotamadya bahkan tingkat desa masih terdapat ketidakadilan
informasi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat hampir-hampir tidak
mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan pemerintah di
wilayah mereka. Kondisi demikian pada banyak level akan merugikan
masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut
secara merata.
Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr.
Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama mengingat
adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII
dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader-kader PMII dilapangan masing-masing.
Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk
menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang
kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara
umum bisa kita definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang
dibangun di atas kemampuan kita sebagai sebuah Negara.untuk mendukung
tawaran tersebut, lima langkah stategis kita usulkan; Pertama, adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi. Kedua, penghentian hutang luar negeri. Ketiga, adanya internalisasi ekonomi Negara. Keempat, pemberlakuan ekonomi political dumping. Kelima, maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat lokal (society-based technology).
Secara taktis langkah yang kita tawarkan yaitu: Pertama, perlunya sosialisasi atau kampanye tentang struktur penindasan yang terjadi pada masyarakat. Kedua, advokasi kepada masyarakat. Ketiga,
perlunya penegasan pembenahan pertanggungjawaban pengelolaan hutang
luar negeri langsung kepada presiden ketika meletakkan jabatan. Keempat, penggunaan dan maksimalisasi seluruh resources dalam negeri (sumber daya alam, pemanfaatan SDM, kultur dan juga pengetahuan). Kelima, nasionalisasi tekhnologi internasional.
BAGIAN II
Ahlu Sunnah wa al- Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
Ahlu Sunnah wa al- Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
Prespektif Sosial Politik, Hukum dan HAM
Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada
masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang
di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah, masyarakat dan pasar.
Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya menekan aspek
kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan
harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar. Dalam
kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya
mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya.
Persoalan muncul ketika: Pertama,
kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya
seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit
sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah untuk melibatkan
masyarakat. Kedua,
kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar,
sehingga pada beebrapa segi seringkali mengabaikan kepentingan
masyarakat. Kedua kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring
masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama kepentingan
pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang
memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru.
Kecendrungan demikian pada beberapa segi mewakili kepentingan untuk
melakukan sentralisasi kekuasaan yang akan mengakibatkan munculnya
kembali kedzaliman, ketidakadilan, dan ketidaksejahteraan. Dalam
realitas demikian harus dilakukan desentralisasi sebagai memecah
konsentrasi kekuasaan oleh satu pihak secara dominan. Yakni upaya balancing of power,
yang diorientasikan untuk mendorong terjadinya perimbangan kekuatan,
baik kekuatan masyarakat sipil, kekuatan pasar maupun kekuatan
pemerintah. Bagaimana kemudian PMII merumuskan strategi gerakannya dalam
menyikapi kondisi demikian, adalah pekerjaan rumah yang harus segera
kita selesaikan. Ini diperlukan terutama untuk memberikan panduan bagi
kolektivitas gerakan kader PMII. Selama ini, PMII sebagai organisasi
pergerakan masih bergerak di tempat, oleh karena itu ke depan perlu
adanya strategi gerakan PMII untuk menyikapi itu.
Strategi gerakan PMII seharusnya mencakup dua aspek, yaitu internal
dan eksternal. Strategi pertama, yaitu melakukan penguatan internal PMII
yang meliputi strategi perjuangan, membangun pandangan hidup, dan
pegangan hidup. Sehingga, PMII diharapakan memiliki daya dobrak terhadap
kekuatan-kekuatan dominan dan otoriter. Yang kedua, aspek eksternal.
PMII harus melakuakan penyegaran terhadap masyarakat bawah atau sipil
atas ketertindasannya dari kekuatan dominan. Dan selanjutnya adalah PMII
harus bisa mengupayakan atau menembus infra struktural terutama dalam
persoalan media, karena selama ini masih kalah dengan “Inul”. PMII harus
bisa melakukan bargaining power dengan pemerintah melalui jalan struktural, termasuk melakuakan gerakan empowering civil society.
Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga
menjadi nilai dasar (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah,
maka sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk
mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII
mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul.
Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat
meruntuhkan kekuasaan dominan dan otoriter yang pada akhirnya bermuara
menjadi gerakan revolusiner.
Jika demikian, PMII harus menjawab pertanyaan tersebut. Kalaupun
harus, maka cara revolusioner itu ditempuh sebagai langkah terakhir.
Maka yang harus dilakukan PMII adalah gerakan revolusi dengan maksud
merubah tatanan, tapi bukan sengaja membuat kekerasan untuk menuju
tatanan yang lebih baik dengan alasan kemaslahatan. Ketika pemerintah
itu otoriter, jelas tidak selaras dengan nilai-nilai dalam PMII, tasharrufal-al-imam manutun ‘ala raiyyati kaitannya dengan kulluklum ra’in wa kullukum mas’ulunan raiyytih.
Meski disadari, memperbaiki tatanan merupakan pekerjaan yang tidak
mudah, apalagi tatanan tersebut bersifat otoriter. Sudah sepatutnya PMII
bergerak merubahnya. Upaya serius menstransformasikan nilai-nilai Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
sebagai salah satu sistem nilai yang terpatri menjadi ideologi
pergerakan PMII adalah mendesak, termasuk dalam menata ulang kondisi
sosial politik yang amburadul.
Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir . ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah
bisa ditawarkan, maka cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini
kondisi sosial politik Indonesia mengalami degradasi luar biasa. Ada
empat variabel yang dapat membantu mencari akar persoalan.
Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab
tuntutan masyarakat kelas bawah. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang
sebtulnya tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan
harga-harga, merupakan salah satu pemicu munculnya ketidak percayaan
masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara Negara.
Kedua, militer. Pada dasarnya adanya militer adalah karena untuk
mengamankan Negara dari ancaman, bukan malah mengancam. Selama 32 tahun
masyarakat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan
perlakuan-perlakuan militer. Meski,
dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional, institusi
dan secara personal. Keinginan menjadikan militer professional merupakan
cerminan adanya keinginan militer untuk berubah lebih baik. Namun,
penegasan dan upaya ke arah professionalitas militer masih belum cukup
signifikan dan menampakkan hasil. Peran militer terutama pada wilayah
sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol. Bukan
berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara
yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari
betul, militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan pertahanan Negara,
maka tidak seharusnya menarik-narik militer ke medan politik yang
jelas-jelas bukanlah arena militer.
Ketiga, kalangan sipil. Ironisnya, ketika ada keinginan membangun
tatanan civil society, yang arahnya ingin membangun supermasi sipil,
namun kenyataannya kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali
mengusung urusan Negara (pemerintahan) serta militer ke wilayah politik
yang lebih luas. Sehingga yang terjadi adalah ketidakjelasan peran dan
fungsi masing-masing.
Fungsi dan peran (pemerintahan) adalah sebagai penyelenggara bukanlah
sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol.
Namun contoh yang semestinya berasal dari masyarakat ataupun kalangan
poitisi yang mewakili di parleman kecendrungannya seperti dijelaskan
sebelumnya, menyeret-nyeret dan seringkali mencampuradukkan urusan
pemerintah dan militer ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu dari
ketiga variabel tersebut pada kondisi kekinian yang ada, perlu penegasan
dan penjelasan terhadap peran dan fungsi serta posisinya masing-masing.
Terutama bagi kalangan sipil yang tereduksi menjadi kalangan politisi
untuk tidak membawa kepentingan-kepentingan politiknya memasuki arena
lain. Jika itu tetap berlangsung (ketidakjelasan peran dan fungsi
Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga peradilan) maka
niscaya ketidakpercayaan rakyat semakin mengkristal terhadap semua
institusi tersebut.
Pada fase itu, rakyat dapat dikatakan tidak lagi membutuhkan
perangkat-pernagkat seperti Negara, militer, parlemen atau parpol, dan
lembaga peradilan. Realitas seperti itu dapat kita saksikan sampai hari
ini. Meski telah bebrapa kali berganti kepemimpinan nasional, ternyata
masalah yang timbul lebih banyak, sementara persoalan-persoalan yang
lama juga belum teratasi. Oleh karena itu, menata ulang tatanan
Indonesia hari ini merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Dan perlu kerjasama tanpa ada campur aduk antar fungsi
masing-masing.
BAGIAN III
Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah Sebagai Manhaj al-Fikr
Presfektif Sosial Budaya
Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan; Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai ke-Ahlussunnah wal Jama’ah-an
sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika kondisi
sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan
karakter budaya menjadi tujuan akhirnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan
nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial
budaya. Ekplorasi terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan
cara untuk mengetahui akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa
pada kenyataannya globalisasi ternyata mengikis budaya lokal didalam
seluruh aspek kehidupan. Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak
begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial budaya Indonesia.
Ironsnya, masyarkat menikmati produk-produk globalisasi sementara produk
lokal menjadi teralienasi.
Permasalahan lain adalah adanya dominasi dari satu masyarakat, dalam
hal ini adalah budaya dominan atas masyarakat yang memilki budaya minor.
Hal ini merupakan satu pergeseran nilai akibat pengaruh sosial budaya
masyarkat global yang global yang cenderung matrealistis dan hedonis,
sehingga yang terjadi berikutnya adalah demoralisasi bukan hanya
dimasyarakat, tetapi juga sudah merambah ditingkat penyelenggara Negara,
poloitisi, militer, bahkan peradilan. Maka sebetulnya dalam konteks
ini, kapitalisme atau globalisasi telah melakukan hegemoni terhadap
kita. Perubahan global yang datang bertubi-tubi lewat media informasi
menyebabkan relatifisme pemahaman terutama pemahaman keagamaan. Mental
inferor dari Negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia akan suit
hilang karena sejalan dengan keinginan menjadi superior dari
Negara-negara maju.
Berangkat dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk
melakukan perlawanaan ketika hegemoni kapitalisme global semakn
“menggila”. Salah satu straegi itu mnejadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam bentuk penguatan budaya-budaya lokal.
Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan masyarakat bukanlah vis a vis
tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum dapat
sejajar. Terkait denga itu, PMII harus dapat menjembatani
keinginan-keinginan masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan
Negara tidak lagi merugikan masyarakat dan tidak lagi menguntungkan
kapitalis global.
PMII harus secara tegas mengambil posisi ini untuk membantu
mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap masyarakat.
Terutama untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar
kemudian globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang
sebetulnya menjadi sasaran distribusi barang. Juga mempengaruhi budaya.
Disisnilah peran PMII dengan seperangkat nilai-nilai idealnya seperti
tawazun,tasamuh dan ta’adul menjadi dasar guna menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hal itu maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa
diorientasikan untuk mengerangkakan formulasi rekayasa sosial yang
diabdiakn sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan Negara
maupun pasar. Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan
memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang
relasional-partisipatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat,
dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan
subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII
dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan dan kebuthan
masyarakat dihadapan Negara dan pasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar