Delik pers berasal dari dua kata, delik dan pers. Delik berasal dari perkataan Belanda delict
yang artinya tindak pidana atau pelanggaran. Kata pers mengacu pada
pengertian kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui media elektronik
seperti televisi dan radio. Jadi, delik pers artinya semua
tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan melalui media massa. Mr.
D. Hazewinkel Suringa dalam Inleiding tot de Studie van het Strafrecht
menyatakan bahwa “Delik pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan
yang dapat dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya membutuhkan
publikasi pers.”
Para
ahli hukum sendiri merumuskan delik pers adalah setiap pengumuman atau
penyebarluasan pikiran melalui penerbitan pers. Ada tiga unsur yang
harus dipenuhi agar suatu perbuatan yang dilakukan melalui pers dapat
digolongkan sebagai delik pers, yaitu:
- Adanya pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan melalui barang cetakan.
- Pikiran dan perasaan yang diumumkan/disebarluaskan melalui barang cetakan itu harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hukum.
- Pengumuman pikiran dan perasaan yang dapat dipidana tersebut serta yang dilakukan melalui barang catakan tadi harus dapat dibuktikan telah disiarkan kepada masyarakat umum atau dipublikasikan. Jadi, syarat atau unsur terpenting adalah publikasi.
Subjek hukum delik pers.
Subjek
hukum delik pers harus dikaitkan dengan pasal 55 dan 56 KUHP, yang
dikenal dengan penyertaan, yaitu keterlibatan seseorang dalam peristiwa
pidana tergantung pada kadar atau sejauh mana orang itu terlibat dalam
proses terjadinya tindak pidana.
Pasal 55 KUHP:
1) Dipidana sebagai si pembuat suatu tindak pidana:
Ke-1 orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu;
Ke-2
orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan
atau martabat, memakai paksaa, ancaman atau tipu karena memberi
kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya
perbuatan itu dilakukan.
2) Adapun
tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk
olehnya serta akibat perbuatan itu.
Pasal 56 KUHP:
Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana:
Ke-1 orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan;
Ke-2 orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Dalam kaitannya dengan penerbit dan pencetak, diatur dalam pasal 61 dan 62 KUHP, sebagai berikut:
Pasal 61 KUHP:
1) Pada
kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan, maka penerbit tidak
dituntut, jika pada barang cetakan itu ada tersebut nama dan tempat
tinggalnya dan pembuat itu sudah ketahuan atau sudah diberitahukan oleh
penerbit itu pada pertama kali ia diperingatkan akan menerangkan nama
itu sesudah penuntutan berjalan.
2) Aturan
itu tidak berlaku, jikalau pada waktu penerbitan si pembuat tidak dapat
dituntut atau diam di luar daerah Republik Indonesia.
Pasal 62 KUHP:
1) Pada
kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan, maka pencetak tidak
dapat dituntut, jika barang cetakan itu tersebut nama dan tempat tinggal
pencetak itu dan nama orang yang menyuruh cetak sudah ketahuan, atau
sudah diberitahukan oleh pencetak itu pada pertama kali ia diperingtkan,
akan menerangkan nama itu, sesudah penuntutan berjalan.
2) Ketentuan
ini tidak berlaku, bilamana pada waktu mencetak orang yang menyuruh
cetak itu, tidak dapat dituntut atau diam di luar daerah Republik
Indonesia.
Mengacu
pada pasal 55, 56, 61, dan 62 KUHP di atas, maka pihak-pihak yang
terlibat dalam tindak pidana dan menjadi subjek hukum delik pers ialah:
- Wartawan yang membuat atau menulis berita.
- Redaktur, yang menilai, mengedit dan menentukan dimuatnya berita.
- Penerbit, yaitu badan usaha yang menerbitkan media.
- Pencetak, yaitu orang yang membantu melakukan perbuatan pidana.
Penggolongan Delik PersDelik pers dapat digolongkan ke dalam 5 kelompok besar, yaitu:1. Kejahatan terhadap ketertiban umum.Diatur dalam pasal-pasal 154, 155, 156, dan 157 KUHP. Pasal-pasal ini dikenal dengan nama haatzaai artikelen, yaitu pasal-pasal tentang penyebarluasan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintah.2. Kejahatan penghinaan.Dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok:a. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, diatur dalam pasal 134 dan 137 KUHP.Termasuk dalam kelompok ini penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum, yang diatur dalam pasal-pasal 207, 208, dan 209 KUHP.b. Penghinaan umum, diatur dalam pasal-pasal 310 dan 315 KUHP.3. Kejahatan melakukan penghasutan.Diatur dalam pasal-pasal 160 dan 161 KUHP.4. Kejahatan menyiarkan kabar bohong.Diatur dalam pasal XIV dan XV Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, yang menggantikan pasal 171 KUHP yang telah dicabut.5. Delik kesusilaan.Diatur dalam pasal-pasal 282 dan 533 KUHP.Sifat delik persAda 2 jenis delik pers, yaitu:1. Delik aduan.Pada umumnya delik pers tergolong delik aduan (klachdelict), artinya tidak akan ada perkara kalau tidak ada yang mengadu. Sekalipun aparat penegak hukum mengetahui telah terjadi pelanggaran, tetapi tidak bisa mengambil inisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan.Pasal-pasal dalam KUHP yang terkait dengan delik aduan adalah: - Pasal 310 (penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang).
- Pasal 311 (fitnah).
- Pasal 315 (penghinaan ringan terhadap seseorang).
- Pasal 316 ( penghinaan terhadap pejabat pada waktu atau atau menjalankan tugasnya yang sah).
- Pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa).
- Pasal 320 (pencemaran terhadap seseorang yang sudah mati).
- Pasal 321 (penghinaan atau pencemaran nama seseorang yang sudah mati).
2. Delik biasa.
Tidak
perlu ada pengaduan, karena itu aparat penegak hukum wajib melakukan
tindakan hukum apabila mengetahui telah terjadi pelanggaran atau
kejahatan.
- Pasal 112 dan 113 (pembocoran rahasia negara).
- Pasal 134 dan 137 (penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden).
- Pasal 142, 143, dan 144 (penghinaan terhadap raja atau kepala negara sahabat, atau orang yang mewakili negara asing di Indonesia).
- Pasal 154 dan 155 ( pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia).
- Pasal 156 dan 157 (pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia).
- Pasal 156a (pernyataan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia).
- Pasal 160 dan 161 (penghasutan untuk melakukan perbuatan pidana atau menentang penguasa umum dengan kekerasan).
- Pasal 162 dan 163 (penawaran untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana).
- Pasal 207 dan 208 (penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia).
- Pasal 282, 532, 533, dan 534 (kesusilaan).
TINJAUAN TERHADAP DELIK PERS
- Delik Kebencian (Haatzaai Artikelen)
Haatzaai-artikelen berasal dari dua kata bahasa Belanda yang artinya masing-masing: Haat = (benih) kebencian; zaaien = menabur, menanam benih (perselisihan, kebencian); artikel = tulisan atau karangan, bentuk jamaknya adalah artikelen. Jika diterjemahkan secara bebas, haatzaai-artikelen ini bisa disalin dengan “karangan-karangan yang menabur benih kebencian.”
Apa
yang termasuk dalam haatzaai-artikelen ini dinyatakan secara jelas
dalam pasal 154 KUHP, yang berbunyi: “Barangsiapa menyatakan rasa
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia di
muka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Atau
pasal 155 KUHP, ayat 1, yang menyatakan: ”Barangsiapa menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang
mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isisnya diketahui
oleh umum, diancam…”
Menengok catatan sejarah, pencantuman pasal ini ke dalam Wetboek Strafrecht voor Nederlands Indie (WvSNI) atau yang sekarang dikenal KUHP-berdasarkan pasal VI UU No. 1 Tahun 1946-sesungguhnya WvSNI merupakan konkordan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang dipakai di Belanda, tetapi pasal haatzaai tersebut justru tidak terdapat di dalam WvS itu sendiri.
Jelaslah
maksud Pemerintah Belanda mencantumkan pasal haatzaai pada WvSNI untuk
meredam pandangan kritis bangsa Indonesia yang dikhawatirkan akan
menimbulkan gejolak. Kata-kata dalam pasal ini sangat tidak jelas
batasannya sehingga bertentangan dengan asas lex certa. Unsur
“menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan” dapat
ditafsirkan sangat luas. Dalam proses peradilan yang tidak independen,
hal ini sangat merugikan pihak yang diduga melakukan tindak pidana itu.
Delik
haatzaai ini dirumuskan sebagai “delik formal”, yang berarti tidak
perlu pembuktian terjadinya kerugian akibat pemberitaan tersebut.
Tetapi, dalam KUHP baru, pasal ini dirumuskan menjadi delik materiel.
Pelanggaran pidana yang terjadi harus dibuktikan dulu, dalam hal ini
akibat pemberitaan pers memang terbukti merugikan publik, untuk dapat
dianggap terjadi pelanggaran delik kebencian dan permusuhan, sebelum
proses pidana kepada pelaku, pembuat, pemuat, atau yang menyiarkan
berita bisa dilakukan.
Selain
pasal di atas, yang dianggap sebagai haatzaaien, adalah
perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur yang dimuat dalam pasal 156 dan
156a serta pasal 157 KUHP. Pasal 156 dan 157 adalah pasal yang
mengandung unsur yang dapat menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat
karena masalah SARA. Sedangkan pasal 156a diterapkan apabila perbuatan
pelaku dianggap bersifat penodaan terhadap agama tertentu.
- Delik Penghinaan (Pencemaran Nama Baik)
Tabel Pasal-pasal Penghinaan
Pasal
|
Nama Pelanggaran
|
Ringkasan ketentuan
|
Ancaman Pidana
|
134,
136,
137
|
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
|
Menyiarkan, menunjukkan, menempelkan di muka umum
|
6 tahun
|
142
|
Penghinaan terhadap Raja/ Kepala Negara sahabat
|
5 tahun
|
|
143, 144
|
Penghinaan terhadap wakil negara asing
|
5 tahun
|
|
207, 208, 209
|
Penghinaan terhadap Penguasa dan badan Umum
|
6 bulan
|
|
310, 311, 315, 316
|
Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang
|
- tuduhan
- dengan tulisan
|
9 bulan
16 bulan
|
317
|
Fitnah pemberitahuan palsu
|
Pengaduan palsu
|
4 tahun
|
320, 321
|
Penghinaan / pencemaran nama baik orang mati
|
4 bulan
|
Dalam
KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud
dengan penghinaan. Akibatnya perkara hukum yang terjadi sering kali
merupakan penafsiran yang subjektif. Seseorang dengan mudah dapat
menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya jika ia tidak
suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan
pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau”
bagi pers karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers. Selain
itu, ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”
karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan.
Dalam
KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau
tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam 5 kategori,
yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah,
fitnah pengaduan, dan fitnah tuduhan. Penafsiran adanya penghinaan
(dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
- Dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar).
- Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung tuduhan tersebut.
- Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
3. Delik kabar bohong
Wartawan
atau pers yang menyebarkan berita berdassarkan desas-desus, rumor, atau
informasi sepihak bisa terjebak dalam delik kabar bohong, khususnya
jika berita itu berakibat merugikan pihak lain. Ketentuan pidana
penyebaran kabar bohong diatur dalam pasal XIV dan XV UU No. 1 tahun
1946, yang menggantikan pasal 171 KUHP yang telah dicabut.
Pasal XIV UU No. 1 tahun1946:
- Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
- Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga tahun.
Pasal XV UU No.1 tahun1946:
Barangsiapa
menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang
tidak lengkap, sedangkan ia mengerti, setidak-tidaknya patut dapat
menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran
di di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
tiga tahun.
Dalam prinsip jurnalistik dikenal istilah absence of malice
(tanpa niat jahat) ketika media pers menyebarkan informasi yang keliru;
hal itu semata-mata karena kesalahan yang dilakukan tanpa kesengajaan.
Jika pers menyebarkan kebohongan secara sadar atau sengaja, itu berarti
media pers tersebut telah mengkhianati profesinya.
4. Delik Kesusilaan (Pornografi)
Rumitnya
masalah pornografi ini, agaknya, tercermin pula dalam aturan hukum.
Dalam KUHP tidak ditemukan perumusan yuridis dari istilah pornografi.
Menurut teks KUHP Belanda (tahun 1886) yang menjadi cikal bakal KUHP
kita, pada pasal 281 yang dilarang adalah openbare schennis de eerbaarheid (melanggar susila secara terbuka), sedangkan dalam pasal 282 digunakan kata-kata anstotelijk voor de eerbaarheid (melanggar perasaan susila).
Pasal-pasal
KUHP yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan adalah pasal-pasal
281, 282, 532, dan 533. Jika kita mempersoalkan pornografi sebagai delik
pers, maka yang dimaksud adalah larangan yang diancam dengan ketentuan
hukum pidana dalam pasal-pasal 282 dan 533 KUHP.
Pasal 282 KUHP:
Barang
siapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan
berterang-terangan suatu yang diketahui isinya, atau suatu gambar atau
barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan, maupun
membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau
menyediakan tulisan, gambar atau barang itu untuk disiarkan,
dipertontonkan atau ditempelkan sehingga kelihatan oleh orang banyak,
ataupun dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan sesuatu surat,
ataupun dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan sesuatu surat,
ataupun dengan berterang-terangan diminta atau menunjukkan bahwa
tulisan, gambar atau barang itu boleh didapat, dihukum penjara
selama-lamanya satu tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp
45.000.
Pasal
tersebut tidak secara khusus ditujukan kepada pers, namun mengingat
sifat media massa yang terbuka dan dikonsumsi oleh orang banyak
menjadikan pers rentan terhadap pasal-pasal kesusilaan. Kebebasan pers
yang mulai berlaku pada tahun1998 telah melahirkan berbagai terbitan
majalah dan tabloid, acara televise dan siaran radio yang menampilkan
foto/artikel serta siaran visual yang bersifat sensual. Pada sebagian
anggota masyarakat, kecenderungan tersebut menimbulkan keresahan dan
antipati.
KASUS-KASUS DELIK PERS
Beberapa kasus tuntutan hukum penghinaan terhadap berita media cetak
Media/Edisi
|
Judul
|
Kasus/Dakwaan
|
Hasil Akhir
|
Tempo,
10 April 1982
|
Laporan Kampanye Pemilu 1982
|
Dinilai melanggar pasal 207, penghinaan pada pemerintah
|
dibekukan
|
Editor,
27 Mei 1989
|
Sultan Brunei, Antara Mitos dan Fakta
|
Dianggap memberi citra negatif terhadap kepala negara sesama ASEAN
|
diperingatkan
|
Pos Kota,
Juni 1990
|
Permainan Sidang Tilang di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
|
Pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah diralat
|
Bebas
|
Warta Republik,
25 Agust 1999
|
Cinta Segitiga Dua Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudrajat Berebut Janda
|
Pencemaran nama baik Try S. dan Edi S. Sumber berita tidak jelas, tidak konfirmasi
|
Hukuman percobaan
|
Majalah D&R,
6 Juni 1999
|
Tender Proyek, KKN Gubernur
|
Pencemaran nama baik Gubernur Sulsel
|
Tidak jelas
|
Gatra,17 Oktober 1998
|
Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
|
Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak menyenangkan
|
Bebas, memenuhi kode etik
|
Sriwijaya Post,
25 Agust 1999
|
KaBakin Terima 400 Milyar
|
Pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
|
Hukuman percobaan
|
Tajuk,
23 Juni 1999
|
Di Balik Setoran Pribadi Itu
|
Digugat 10 milyar atas perbuatan melawan hukum
|
Minta maaf terbuka
|
Info Bisnis,
66/tahunIV/1999
|
Baramuli dan Kredit Rp. 800 milyar
|
Pencemaran nama baik
|
Tidak jelas
|
Kasus Tabloid Monitor
pada tahun 1991 menyebabkan Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi,
dijatuhi hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
karena dianggap terbukti melakukan delik yang bersifat penodaan agama,
dengan memuat hasil poling yang menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan
sebelas sesudah tokoh-tokoh populer di Indonesia.
Contoh lain adalah yang menimpa majalah Matahari
yang dicabut Surat Izin Terbit-nya pada 25 Juni 1979. Pelarangan terbit
terhadap majalah ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri
Penerangan sehubungan dengan artikel majalah tersebut yang berjudul:
“Cukong Sumber Malapetaka” (Edisi 16 Mei 1979), dan “Bangkrutnya
Teknokrat ala Mafia Berkeley” (Edisi 17 Juni 1979). Dua artikel tersebut
dinilai telah “melanggar batas-batas kesopanan, mengandung penghinaan
dan fitnah terhadap pejabat/pimpinan pemerintahan yang dikemukakan
secara sinisme” sehingga bisa dikategorikan melanggar pasal 310
(penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang).
Kasus serupa menimpa majalah Expo.
Pada Januari 1984 Surat Izin Terbit majalah tersebut dibekukan
sementara karena memuat laporan utama tentang “100 Milyarder Indonesia”.
Laporan tersebut dinilai oleh pemerintah telah “melakukan penelanjangan
pribadi yang bernada sensasi dan insinuasi.”
Salah satu contoh kasus tuntutan atas “penyebaran kabar bohong” yang pernah diajukan ke pengadilan adalah yang menimpa Harian Berita Buana
pada tahun 1989. Redaktur Pelaksana harian tersebut oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dijatuhi hukuman satu setengah tahun penjara (pada 4
November 1989) karena dinilai telah menyiarkan kabar bohong mengenai
makanan kaleng yang mengandung lemak babi. Berita yang dipersoalkan
berjudul: ”Banyak Makanan yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak
Babi”.
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, pihak redaksi Harian Berita Buana
terbukti bersalah, karena tidak berusaha meneliti kebenaran informasi
yang mereka publikasikan menyangkut isu makanan kaleng yang mengandung
lemak babi. Padahal, isu lemak babi sangat sensitif untuk konsumen yang
beragama Islam. Akibat berita tersebut, pihak produsen makanan kaleng
yang dituduh menggunakan lemak babi merasa dirugikan. Majelis hakim yang
memimpin sidang berpendapat Berita Buana dengan sengaja menyebarkan berita yang belum tentu benar itu.
Kasus mengenai delik kesusilaan dialami oleh Pemimpin redaksi Majalah Matra,
Jakarta, Nano Riantiarno pada 8 Juni 2000. Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan memutuskan Riantiarno bersalah karena telah
melanggar kesusilaan dengan menyebarkuaskan dan mempertunjukkan secara
terbuka suatu gambar yang diketahuinya menyinggung kesusilaan. Ia
dijatuhi hukuman 5 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan. Nano
dituduh melanggar pasal 282 ayat (1) KUHP, karena pemuatan foto Sarah
Azhari dan Inneke Koesherawati pada gambar sampul majalah Matra edisi bulan Juni dan Juli 2000.