Minggu, 14 Oktober 2012



Suatu hari, seorang pendayung perahu mengayuh ke arah hulu. Tiba-tiba ia terkejut melihat ada perahu meluncur deras sekali dari arah hulu persis ke arah dirinya. Tentu saja ia berteriak: “Awas!”. Dan tabrakan pun tidak bisa dihindarkan. Melihat dirinya nyaris mati, perahunya retak, maka marahlah dia sekencang-kencangnya dengat kata-kata sekenanya. Setelah lelah marah, ia mencoba melihat wajah manusia yang ceroboh tadi. Ternyata, tidak ada manusia dalam perahu tadi.
Pelajarannya yang bisa ditarik dari sini, betapa cepatnya manusia marah. Bahkan ketika informasi belum jelas, kemarahan sudah menghadang. Ujungnya, kedamaian terbang entah ke mana. Oleh karena itulah, di setiap pojokan pelayanan,  banyak guru  mengajarkan pentingnya melangkah  indah penuh kedamaian.
Kebanyakan orang mengira kedamaian baru diperoleh setelah  keinginan  terpenuhi.  Dan  ternyata,  sedikit yang menemukan kedamaian dengan cara ini. Terutama karena keinginan bergerak naik sejalan dengan tercapainya sejumlah keinginan. Tatkala keinginan  memiliki motor tercapai, muncul keinginan membeli mobil. Setelah menjadi manajer, muncul keinginan menjadi direktur. Sehingga lelahlah kehidupan karena terus berkejaran.
Terinspirasi dari sini, sebagian pencari kedamaian kemudian menggunakan cara lain yakni belajar menemukan kedamaian dengan cara “berhenti”. Pengertian berhenti di sini adalah menemukan wajah kedamaian dari setiap pengalaman kekinian. Bangun tidur sebagai contoh, ia juga membawa kedamaian. Terutama karena sebagian manusia ketika berusaha bangun di pagi hari tidak bisa karena keburu mati. Disamping itu, bangun pagi memberikan kesempatan untuk merenung, mau diisi dengan apa kehidupan di hari ini. Bila diisi dengan pelayanan, kedamaian buahnya. Jika diisi dengan kejahatan, penderitaan hukumannya.
Bagi kebanyakan orang, kerja itu membosankan. Ia lawannya rekreasi. Lelah, capek,  serba salah, kalau benar atasan diam bila salah atasan mengomel. Tatkala pelayanan baik pelanggan melenggang saat pelayanan salah sedikit saja maka makian menghadang. Itulah gambaran tentang kerja yang  dibikin  banyak manusia.
Pencinta kedamaian lain lagi. Kerja bukan tong sampah yang berisi keluhan, kerja menyembunyikan berlimpah peluang untuk menemukan kedamaian.  Perhatikan setiap tugas yang datang. Dengan sedikit cara pandang positif terlihat, kerja adalah cermin kepercayaan atasan ke kita. Tanpa rasa percaya atasan tidak mungkin ada kerja. Dengan demikian ada kedamaian dalam setiap tugas yang datang.
Kemarahan atasan atau keluhan pelanggan sebagai contoh lain, ia adalah terbukanya pintu perbaikan diri. Tanpa kemarahan atasan dan keluhan pelanggan, kita semua seperti petinju tanpa lawan, bermain sepak bola tanpa ada yang menghitung skor menang kalah. Datar dan bosan sekali kerja jadinya. Untuk itulah, ada kedamaian di balik kemarahan atasan dan keluhan pelanggan.
Gaji dan bonus yang tidak memuaskan kerap menjadi bom yang menghancurkan kedamaian. Dari segi pekerja, judul yang diambil adalah boss pelit, pengusaha yang mau untung sendiri. Dari segi atasan dan pengusaha, judulnya adalah penghematan, investasi masa depan. Dan lenyaplah kedamaian dari dunia kerja. Padahal, dengan sedikit rasa syukur dan kerelaan untuk berhenti membandingkan kehidupan dengan mereka yang lebih tinggi, gaji dan bonus sekecil apapun bisa menjadi sumber kedamaian. Dalam bahasa seorang guru, we can be prosper at any level of income.
Makan, pakaian, penampilan, kendaraan semuanya bisa disesuaikan dengan tingkat penghasilan. Memaksa agar  selalu lebih baik dibandingkan orang, itulah bom penghancur kedamaian yang sesungguhnya.
Apa yang mau diceritakan dengan seluruh ilustrasi ini sederhana, ada peluang kedamaian di setiap langkah kehidupan. Dan kedamaian akan mendekap, kesembuhan akan mendekat, bila kita rajin melatih diri untuk memandang secara mendalam (tidak terlalu mudah dibawa lari kemarahan), melihat terbukanya pintu kedamaian di setiap kejadian, serta rajin berbagi senyuman. Terutama karena senyuman adalah tanda bahwa seseorang sudah menjadi tuan bukan korban kehidupan.
Bahan renungan:
1. Kelangkaan kedamaian, itu keluhan banyak orang
2. Padahal, dengan belajar “berhenti” dikejar keinginan plus sejumlah rasa syukur, kehidupan sesungguhnya sebuah kedamaian
3. Ia yang memandang secara mendalam, bahwa semua mau bahagia, semua tidak mau menderita, rajin berbagi senyuman dan pelayanan, suatu hari mengerti bahwa setiap langkah adalah indah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar