Rabu, 03 Oktober 2012

Posisi Dan Peran PMII

Secara sosiologis, posisi dan peran hanyalah dua sisi dari satu fenomena yang sama. Seringkali posisi itu merupakan sisi yang pasif. Sedangkan peran adalah sisi yang aktif. Oleh karena itu membicarakan masalah poisi dan peran secara praktis sebenarnya tidak bisa dipisahkan, hanya bisa dibedakan.
Pada dasarnya posisi dan peran PMII bisa dilihat dari arah dan dimensi yang berbeda :
Pertama : Jika kita menggunakan kerangka negara dan mesyarakat sipil (State and cicil sociaty) dalam konteks ini posisi dan peran PMII apa.
Kedua : Dari sisi paradigma perubahan sosial, dalam konteks
perubahan sosial ini posisi dan perannya sebagai apa.
Ketiga : Posisi dan peran PMII dalam gerakan sosial, maka juga
penting dikaji posisi PMII dimana dan apa perannya.
Secara organisatoris dan fungsional, PMII memang tidak menduduki tempat yang sembarangan. Artinya secara keseluruhan bisa merupakan salah satu dari elite di dalam masyarakat. Kalau kita kita menggunakan elite dengan massa, kontradiktif memang. Apakah PMII itu organisasi elite atau organisasi massa. Cara pandang yang kontradiktif ini akan membawa implikasi-implikasi tertentu. Keadaan ini di dalam PMII sendiri masih menjadi perdebatan. Adanya kecendrungan yang menganggap PMII sebagai organisasi massa, sehingga ada sebagian tokoh-tokoh PMII dalam moment-moment tertentu atau dalam menanggapi issu-issu yang muncul cendrumg mengaerahkan massa. Tetapi disisi lain adanya pmikiran bahwa PMII bukan organisasi massa, dengan perhitungan: berapa banyak jumlah mahasiswa di Indonsia, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.

Dalam konteks mahasiswa, berapa jumlah anggota PMII dari keselurhan mahasiswa di Indonesia. Disadari atau tidak, sebenarnya pengelompokan ini lebih bersifat eksklusif, lalu menjadi elitis. Seseorang yang tidak menjadi mahasiswa tidak akan bisa menjadi anggota PMII. Dalam hal ini jelas, pemilahan sebagai kelompok mahasiswa dengan massa secara umum. Oleh karena itu, jika dikembangkan lebih jauh, maka peran PMII dalam versi ini, bukan dengan melakukan pengerahan massa sebanyak-banyaknya, tetapi merebut posisi dan peran tertentu yang dianggap strategis.
Dua kecendrungan tersebut masih ada di dalam tubuh PMII, yang nampaknya akan menjadi gerakan-gerakan dinamis di dalam PMII itu sendiri dan itu akan terlihat dalam kelompok-kelompok periode kepengurusan. Sesungguhnya kepengurusan itu merupakan pergumulan resultante dari berbagai kepentingan yang ada dalam tubuh organisasi PMII.
Selaras dengan pandangan yang terakhir ini, bahwa PMII secara institusional tidak harus besar, tetapi individu-individu yang ada di dalamnya yang harus besar dan berkualitas, individu yang mempunyai kualitas Ulul Albab, secara real, berbagai indikasi normatif yang ada harus diaktualisasikan , sehingga kualitas kader PMII benar-benar dapat dibuktikan dihadapan zaman.
Persoalannya adalah bagaimana PMII melihat keadaan dan perubahan-perubahan sosial dalam konteks masyarakat Indonesia. Pilihan-pilihan paradigma mempunyai implikasi berbeda terhadap pilihan-pilihan gerakan yang akan berbeda pula. Ini persoalan-persoalan yang harus diselesaikan secara internal oleh PMII.

Dalam arus gerakan-gerakan sosial, ada beberapa pandangan tentang geraka sosial :
Pertama : Social movement, adalah gerakan sosial yang bersifat sporadis, spontan, tujuannya jelas dan berjangka pendek, sangat impulsif, misalnya gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah, bila tuntutan itu sudah dipenuhi, maka selesailah gerakan itu. Gerakan ini sebagai gerakan sesaat, karena spontan dan tujuannya berjangka pendek, dan organisasinya tidak disiapkan secara matang, maka sangat mudah dipatahkan oleh kekuatan rezim yang berkuasa.
Kedua : Social cultural movement, tujuannya jangka panjang, lebih fundamental, karena yang dihadapi higemoni kekuasaan, hegemoni kelompok-kelompok diminan yang berkuasa, oleh karena itu strategi yang digunakan berbeda dengan yang pertama. Sasaran, pemberdayaan kelompok-kelompok rentan, kelompok-kelompok marginal dan terpinggirkan dan orientasinya kultural.
Ketiga : Historical movement, pergolakan yang sangat panjang, lebih panjang dari social cultural movement dan ini lebih bersifat historis, artinya sejarah yang akan menentukan.
Dalam konteks social cultural movement, sebenarnya masalah utamanya adalah higemoni kelompok-kelompok dominan dan kepemimpinan kultural. Oleh karena itu, salah satu strateginya adalah perang kultural yaitu bagaimana merebut kepemimpinan kultural dan intelektual. Misalnya bagaimana menentukan isu-isu yang dapat membalikkan higemoni. Jadi kebih bersifat counter higemoni. Dalam hal ini mendekonstruksikan wacana yang sedang dominan pada saat tertentu. Kalau rezim sekarang, misalnya ideologinya Develpomentalisme maka yang harus di dekonstruksi adalah ideologi developmentalisme. Mendekonstruksikan wacana-wacana yang higemonis yang disebut dengan War of Position.

Dalam posisi seperti ini, PMII harus berfikir utuh untuk melakukan social movement jangka pendek, ramai-ramai mengerahkan massa untuk menuntut perubahan upah buruh lalu selesai atau atau pada social and cultural meovement yang strategi utamanya adalah War Of Position, perang merebut kepemimpinan kultural dan intelktual.
PMII sebagai kelompok mahasiswa, jika diletakkan pada konteks gerakan sosial, maka pilihan pada posisi social and cultural movement di dalam jangka panjang, patut dipertimbangkan, sehingga seluruh sumber daya yang ada dipersiapkan untuk merebut higemoni kultural. Ini mengharuskan para pemimpin menciptakan isu, kemudian mendekonstruksikan wacana yang sedang higemonis. )
Jika saat ini yang menghigemoni aliran modernisme dan developmentalisme, maka fungsi, posisi dan peran yang diambil PMII, adalah mempelajari secara sungguh-sungguh apa itu ideologi developmentalisme. Kemudian mendekondtruksikan mitos-mitos developmentalisme, mensosialisasikan, menebarkan ide-ide dekonstruksi tadi, counter higemoni itu kepada masyarakat luas. Pada tahapan ini dilakukan dengan kelompok-kelompok pro demokrasi lain yang dianggap punya akses massa.

Jika PMII terjebak pada permainan-permainan jangka pendek, maka sumbangannya terhadap proses pemerdekaan, pembebasan bangsa ini menjadi sangat kecil dan terbatas. Sumbangan fundamental harus diletakkan pada social and cultural movement. Memang perjuangan ini lebih berat dan tidak populer serta tidak menghantarkan orang menjadi pahlawan-pahlawan dadakan. Ini menjadi tantangan besar, menjadi aktor intelektual dalam perubahan sosial yang besar.
Untuk itu memang tersedia pilihan-pilihan, apakah PMII akan melakukan investasi pada seluruh daya untuk gerakan-gerakan yang bersifat spontan gerakan-gerakan massa, atau invstasi jangka panjang untuk menumbukan kader-kader yang mempunyai ketejaman analisis sosial dan mempunyai komitmen tinggi terhadap mustad’afin, bukan terhadap dirinya sendiri, posisi organisasinya sendiri. Disini PMII ditantang untuk melampaui batas-batas etnis, ras dan keagamaan, karena yang dibela itu golongan tertindas.

Betapapun dalamnya PMII terlibat di dalam kehidupan politik , seperti tampak dalam perjalanan sejarah Indonesia, namun umumnya pengamat cenderung berkesimpulan bahwa PMII itu merupakan kekuatan moral. Perannya membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasnya menyelenggarakan pemerintahan atas nama rakyat.
Dalam rangka mewujudkan perannya, PMII terlibat secara aktif dalam proses pembangunan bangsanya. Secara struktural, ia menduduki struktur politik yang dianggap bermanfaat untuk melaksanakan fungsi kritik dan korektif atau pembaharuan, atau membangun gerakan-gerakan tertentu yang diorganisasikan secara tetap untuk menanggapi permasalahan masyarakat. Disamping itu keterlibatan PMII dalam kehidupan politik, berlangsung secara terbatas dan bersifat sporadis atau temporal. Dalam hal ini PMII berpolitik dalam bentuk kritik yang berkenaan dengan masalah-masalah krusial dalam kehidupan masyarakat laus.
Dengan melihat posisi yang demikian itu gayuh politik PMII terletak bukan pada kuantitasnya, akan tetapi justru titik gayuhnya ada pada kualitas “input politik”, bukan pada kualitas proses politik. Pada kasus tuntutan PMII terhadap mundurnya seorang Menteri Agama yang dinilai melakukan kesalahan terhadap kepentingan ummat Islam pada tahun 1991 (kasus Mena) adalah contoh yang pas dari peran Input Politik.

Masalahnya sekarang ialah sampai seberapa jauh takaran perhatian pada peran politik dibandingkan dengan peran lainnya. Terkadang peran politik itu muncul disebabkan aanya interes politik yang bersinggungan dengan tujuannya, maka itulah yang disebut sebagai political side atau sisi politik. Jadi politik PMII muncul sejalan dengan kiprahnya memperjuangkan cita-cita dan tujuannya.
Gerakan politik PMII beupa kontemplatif-reflektif dan etis-normatif dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan budaya politik yang bebas, mandiri, bertanggung jawab serta demokratis. Budaya politik yang matang dan arif akan menghantarkan pada perilaku dan partisipasi politik yang independen, bukan mobilisasi.
Gerakan PMII senantiasa mendasarkan diri pada komitmen keadilan , kebenaran dan kejujuran. Selama hal ini belum menjadi life style bangsa Indonesia, maka gerakan PMII akan terus dilakukan.
Mengembangkan suasana patnership, dialogis kepada semua pihak diluar PMII. Bukan zamannya lagi independen dan eksklusif, taetapi dapat diganti dengan pola interdependensi. Gerakan PMII harus berani, keras tetapi bertanggung jawab yang dilandasi semangat kebangsaan dan akhlakul karimah.

Dua bentuk sumber daya yang menjadi tenaga pendorong bagi PMII untuk terlibat dalam proses politik :
Pertama : Ilmu pengetahuan. Kombinasi antara watak ilmiah yaitu kritis – obyektif dengan pengetahuan yang sistematik tentang masalah-masalah kemasyarakatan disamping masalah yang menjadi bidang spesialisasinya, mendorong PMII untuk mengadakan penilaian dan menentukan sikap tentangb kehidupan masyarakat yang mengelilinginya.
Kedua : Sikap idealisme yang lazim menjadi ciri mahasiswa pada umumnya. Sebagai unsur dari masyarakat yang masih bebas dari struktur kekuasaan, ada di dalam masyarakat. Kombinasi antara kebebasan struktural itu dengan pengetahuan dan pemahaman mereka akan cita-cita, idea atau pemikiran tentang politik, budaya ekonomi dan kemasyarakatan memungkinkan PMII mempunyai sikap kritis.

Dengan menyadari posisinya sebagai kekuatan intelektual yang gandrung akan pembaharuan dan masa depan bangsanya, maka sepantasnya PMII selalu berada dalam ruang pencarian alternatif pembaharuan, eksploraasi yang berangkat dari kenyataan kekinian. Dengan keasadaran ini PMII, akan dengan mudah melakukan inventarisasi agenda-agenda pembaharuan bagi perjalanan bangsanya.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar