Rabu, 03 Oktober 2012

PMII DAN HIGEMONI ORDE BARU

Menipisnya peran yang dimainkan PMII dalam sistem orde baru merupakan konsekwensi logis dari upaya setengah hati yang oleh aktivis PMII pasca 70-an. Walaupun begitu, kegagapan ini tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepundak para aktivis tersebut, karena pandangan dan gagasan yang dominan tentang peran mahasiswa juga merupakan pandangan resmi penguasa orde baru yang terus disebarkan sebagai dasar legitimasi untuk memperoleh dukungan kaum muda itu. Negara memandang bahwa mahasiswa merupakan “harapan bangsa”, sehungga perlu memainkan peran untuk kemajuan bangsa dan negara dalam batas-batas yang ditentukan sendiri oleh negara. Mahasiswa juga diperbolehkan melakukan “politik praktis” tetapi harus disalurkan melalui lembaga-lembaga politik yang disahkan negara seperti partai politik dan organisasi kepemudaan. Sebaliknya mahasiswa melihat bahwa unsur-unsur dalam aparat negara juga bisa melakukan kesalahan dalam menjalankan pembangunan dan modernisasi. Sehingga calon intelektual dan agen modernisasi mahasiswa bertugas menjalankan fungsi kontrol sosial dkritik yang membangun dan bertanggung jawab. Jadi, persepsi PMII tentang mereka sendiri dan “ideologi” negara tentang mahasiswa pada hakekatnya sama sekali tidak bertolak belakang. Mahasiswa menerima tawaran untuk memainkan perannya dalam sistem tersebut dan lakon yang dikehendaki negara, dan sebaliknya negara mampu mengarahkan lakon sambil menjaga batas-batasnya.
Sudah tentu, panggung yang disediakan dan skenario yang ditawarkan negara tidak harus diterima sepenuhnya. Pasang-surut gerakan PMII, menunjukkan bahwa ada pola-pola resistensi tertentu yang dilakukan PMII untuk menolak dan keluar dari panggung tersebut. Walaupun demikian, gagasan dominan yang mernguasai hampir sebagian besar aktivitasnya tetaplah ideologi yang dominan. Oleh karena itu perlu memeriksa bukan hanya mengapa terjadi proses mitologisasi tentang peran mahasiswa (termasuk PMII), tetapi lebih jauh mengapa mitos tersebut bisa terus bertahan, bahkan dipertahankan.
Salah satu jawabannya karena semua upaya demitologisasi di atas tidak pernah meletakkan PMII dalam posisinya yang lebih struktural. Alasan atau dalih yang dikemukakan biasanya bersifat kultural dan penuh permakluman. ) misalnya pandangan psiko-sosial yang menyatakan bahwa memang bukan peran dan tanggung jawab mahasiswa untuk melakukan perubahan sosial politik. Mahasiswa hanyalah katalisator bagi adanya perubahan. ) Sehingga sangat berlebihan untuk menuntut mereka dengan segala macam peran yang seharusnya dijalankan oleh kekuatan politik non-mahasiswa. Karena itu perlu dilihat posisi sosial mahasiswa dalam konteks sosial historis yang lebih konkrit, yakni memeriksa basis dimana gagasan tentang peran tersebut berdiri dan terus dihidupi.
Selama ini posisi PMII di dalam struktur kelas tidak pernah diperiksa, sehingga bukan hanya terjadi kekaburan, tetapi juga pengaburan yang di higemoni oleh negara. Hal ini disebabkan karena :
Pertama : Posisi kelas sosial PMII (juga organisasi mahasiswa yang lain) sebenarnya tidak jelas. Ada paradoks di dalam batas-batas lokasi kelas dari PMII. Disatu pihak, mereka tidak terlibat dalam proses produksi-komoditi, sehingga bukan bagian dsri kelas pekerja. Tetapi dilain pihak, mereka justru berada di dalam lembaga reproduksi kapatalisme, yakni universitas – yang menjadi basis anggotanya. Mereka bukan borjuis, juga bukan pekerja. Dalam analisis ini tidak terlalu penting memeriksa asal usul kelas dari keluarganya, karena yang paling penting adalah melihat : ke posisi mana ia akan melangkah, atau akan memasuki karir dan profesi apa nantinya. Karena determinasipra-kelasnya itu, maka kepentingan-kepentingan politik dan corak kesadaran kelasnya pun berubah-ubah, tergantung dari gagasan atau ideologi apa yang dominan menguasai kehidupan masyarakat dalam kurun sejarah tertentu yang konkrit dan spesifik. Pada satu titik tertentu, PMII bisa menjadi juru bicara untuk dirinya sendiri, misalnya jika mereka mengartikulasikan protes-protes tentang sistem pendidikan, atau menuntut kebebasan yang lebih besar. Pada titik yang lain, PMII bisa jadi juru bicara kelompok lain dan bertindak atas nama kelas atau kelompok yang tertindas, seperti yang diartikulasikan melalui kritik-kritik dan gerakan protes sepanjang satu dasa warsa ini. Tapi yang terakhir ini juga tetap tergantung pada ideologi dominan tertentu yang menguasai masyarakat. Seperti sudah disebutkan terdahulu, gagasan yang dominan adalah gagasan tentang peran mahasiswa (inklusif PMII) demi negara. Kendati gagasan dominan ini merupakan mitologi, tetapi karena mitos tersebut dibutuhkan dan dipegang oleh kekuatan yang higemonik, yakni negara, maka mitos tersebut bisa diwujudkan.
Kedua : Karena sistem sosial yang ada di Indonesia adalah kapitalisme pinggiran, yakni suatu bentuk kapitalisme yang telah mengalami distorsi struktural akibat kolonialisme. Dalam perkambangannya sejak kemerdekaan hingga masa orde baru, sistem kapitalisme pinggiran ini tidak menghasilkan suatu kelas menengah yang tangguh, yang relatif mandiri terhadap pengaruh negara. Kelas kapitalis yang ada justru tumbuh dari dalam tubuh negara dan di dorong oleh negara berkat eksplorasi kekayaan alam hasil hutan dan lain-lain. Kondisi historis semacam itu menyebabkan kelas menengah yang muncul tidak dapat berbuat apa-apa terhadap pengaruh negara. Karena itu negara juga memiliki otonomi yang besar yang memungkinkan mendominasi seluruh kelas-kelas yang ada di masyarakat, kemudian menegakkan higemoninya hanya atas nama negara itu sendiri. Secara lebih khusus negara mendominasi perguruan tinggi atau kampus, yakni tempat dimana mahasiswa berada, yang menjadi basis PMII. Implikasi historisnya, secara higemonik negara bisa membangun panggung-panggungnya dan menentukan peran apa yang harus dimainkan demi kepentingan negara sendiri.
Demikianlah karena kekaburan dan pengaburan posisi kelasnya, PMII menjadi gagap untuk jujur menyatakan kepentingan obyektifnya dalam diskursus yang secara simultan mendorong aksi atau protes-protes mereka. Kegagapan ini menjadi katarsis yang secara sistematis dimanipulasikan dalam higemoni negara sedemikian rupa sehingga PMII merasa terus terpanggil untuk memainkan perannya dalam panggung-panggung mitologi tersebut. Di masa depan, hanya ada dua pilihan bagi gerakan PMII untuk menghindar dari katarsis dan melakukan upaya demitologisasi yang sungguh-sungguh, yakni dengan segala harapannya tetap berupaya menjalankan “tugas sucu”, menegakkan demokrasi, atau bergabung dengan kekuatan masyarakat lainnya untuk tugas kekhalifahannya dalam sistem dan higemoni negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar