Rabu, 03 Oktober 2012

MENUMBUHKAN SIKAP MANDIRI

Dalam sebuah sistem politik yang korporatif memang tidak dimungkinkan tumbuhnya kelompok-kelompok independen diluar skenario negara, semuanya harus masuk dalam korporasi negara. Maka lembaga dan organisasi massa – termasuk orgaisasi kemahasiswaan – tidak lepas dari cengkraman sistem korporasi tersebut. Independen dengan demikian dianggap sebagai pembangkangan. Ini terbukti dari upaya yang ditempuh NU (nahdlatul Ulama) untuk tampil sebagai organisasi masyarakat sipil yang independen ternyata menghadapi tantangan sangat keras, baik dari dalam, yakni para elite NU yang ingin memperoleh fasilitas dari pengauasa, maupun dari luar, yakni dari sekelompok aparat yang menginginkan NU sebagai organisasi yang patuh dalam arti tidak lagi malakukan kontrol sosial.
Sejalan dengan dominannya negara, yang menjadi ciri lain dari sistem ini adalah satuansatuan unsur masyarakat kurang begitu berdaulat. Proses pengangkatan dan penempatan politik (political recrutment) tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang disyaratkan oleh negara. Sama halnya dalam sektor ekonomi dalam bidang-bidang yang lainpun jika ingin menempati posisi penting dalam sistem tersebut perlu memelihara hubungan yang dekat dengan negara. Hal inilah yang membuat begitu “stabilnya” sistem politik. Negara tidak dengan sendirinya mewujudkan kebijaksanaannya, hanya sayangnya unsur-unsur masyarakat menjadi terabaikan. Posisinya hanya berada dipinggir decition making, yang fungsinya hanya mengimplementasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang datang dari negara.
 
Salah satu ciri yang menonjol dari sistem ini, yaitu sangat bearnya peran negara dalam setiap sektor kehidupan masyarakat yang ditandai dengan munculnya negara sebagai suatu kekuatan yang tak sebanding dengan unsur-unsur kekuatan masyarakat. Negara dalam hal ini adalah lembaga modern berdasarkan azas kesatuan bangsa (nation state), yang berupa birokrasi baik sipil maupun militer.
Sebagai organisasi mahasiswa yang bedemensi kepemudaan, PMII mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas warganya, bukan semata sebagai batu loncatan untuk meraih posisi-posisi politik dan kekuasaan. Keadaan ini hampir terjadi pada setiap organisasi baik kemahasiswaan maupun kepemudaan. Hal ini tidak terlalu memprihatinkan seandainya berakibat tumpulnya daya kritis mereka terhadap penyimpangan sosial dan politik dan masyarakat mereka akan memilih diam, kritik dipandang sebagai perlawanan, karena itu mereka hindari. Akibatnya merekapun selalu tampil sebagai anak manis. Yang dilakukan bukanlah tugas penyadaran masyarakat, melainkan sekedar akrobat politik dalam bentuk sowan-sowanan, minta restu atau minta perlindungan.

Bila mahasiswa dan kalangan terpelajar telah menjadi subordinasi kekuasaan, maka dengan dalih keselarasan dan kekeluargaan atau sekedar kerikuhan, akhirnya tidak bisa dan tidak mau melakukan kritik sosial dan kontrol kekuasaan atas dasar tanggung jawab moral. Ini berarti membiarkan masyarakat dan bangsa terjerumus kedalam jurang kehancuran. Karena pada hakekatnya kritik itu adalah peringatan, bukan perlawanan. Tidak mudah memang malakukan kritik, karena ini menyangkut kapasitas lembaga seseorang:
Pertama : Harus tahu persoalan-persoalan sosial, baik konseptuan maupun praktikal.
Kedua : Diperlukan ketajaman visi.
Ketiga : Dibutuhkan kematangan sikap dan keberanian moral.
Dengan demikian, seperti telah disebut dalam bab terdahulu. Ketika PMII dengan sikap kritisnya mampu merumuskan masyarakat yang dicita-citakan, maka sikap itu terkait dengan kemampuan untuk bersikap mandiri (independen)
 
Sikap mandiri itu artinya “pembebasan manusia dari ketidak dewasaan yang diciptakan sendiri”. Ketidak dewasaan ini adalah ketidak mampuan manusia untuk memakai pengertian tanpa pengarahan orang lain. Diciptakan sendiri, berarti ketidak matangan ini tidak disebabkan oelh karena kekurangan dalam akal budi, melainkan karena kurangnya ketegasan dan keberanian untuk memakainya tanpa pengarahan orang lain. Kemandirian (independen) berarti keberanian untuk memakai akal budi, kemampuan untuk menggunakan penalaran yang obyektif dan kritis.
Dengan independensi, artinya bahwa segenap pola perilaku dan berbagai pilihan peran yang hendak diambil, adalah berdasarkan pada kebenaran, dan obyektif seperti yang diyakininya. Artinya kemandirian dalam mengambil sikap dan tindakan, tidak terpengaruh oleh kekuatan dan tantangan apapun, harus menyuarakan nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan. Hal ini menjadi penting, ketika kita memaknakan kembali independensi PMII. Sebab hanya dengan kematangan dan kemandirianlah yang menjadi tuntutan perkembangan. Apabila kesadaran sebagai bagian dari kekuatan moral, maka independensi adalah modal utamanya.
 
Namun semua itu tidak muncul dengan sendirinya, maliankan sangat erat kaitannya dengan ada tidaknya proses sosialisasi nilai moral, baik yang besifat keagamaan maupun kamanusiaan serta bagaimana cara mengejawantahkan dalam sikap, ucapan dan tindakan. Bila nilai-nilai tersebut tidak pernah di internalisasikan, maka akbiatnya seperti yang sering kita lihat pada elite organisasi hanya belajar begaimana mengendap-endap disekitar pusat-pusat kekuasaan untuk memperoleh kesempatan.
Dalam sistem politik yang serba tretutup dan tidak adanya transparansi dalam rekrutmen kader seperti sekarang, tipe-tipe orang semacam itu memang lebih banyak mendapat kesempatan, tetapi perlu dicatat, bahwa orang semacam itu tidak akan memberikan kontribusi apa-apa terhadap kehidupan masyarakat dan bangsanya. Sebaliknya dalam situasi politik yang lebih transparan dan kompetitif tipe orang semacam itu tidak lagi relevan. Dalam sistem yang disebut terakhir ini membutuhkan manusia yang berkarakter dan berkapasitas. Disinilah ormas, baik kemahasiswaan maupun kepemudaan mesti mempertimbangkan kembali sistem kaderisasi yang ada, kalau tidak, mereka tidak akan dapat berdialog dengan perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar