Selasa, 18 September 2012

Era Globalisasi


Pada era globalisasi sekarang ini, perkembangan zaman mengalami kemajuan yang sangat pesat, mulai dari segi iptek, sosial, budaya dan politik, sehingga era globalisasi telah menjadikan dunia menjadi sempit dan transparant. Untuk melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di seluruh penjuru dunia bagai melihat keluar jendela rumah, dimana semua rumah bahkan mereka yang sedang dalam perjalanan mampu mengakses Informasi yang ada di belahan bumi ini.
Peristiwa apa yang terjadi dibelahan bumi utara dalam waktu yang singkat dapat di dengar dan dilihat di belahan bumi lainya, jalan menuju ke negara lainnya pun semakin terbuka dan mudah untuk di singgahi, namun ada yang hilang, ada yang mulai di singkirkan, dilupakan atau mungkin diingat, diketahui namun sengaja dilupakan, budaya bangsa, etika dan norma-norma santun secara tidak langsungpun tersingkirkan di era globalisasi ini.
Budaya antar bangsa yang melebur dan membaur yang saling memperngaruhi, hingga menjadi gaya hidup global, menjadi tanda keterpurukan dan tersingkirnya budaya lokal.
Menurut aktris yang sekarang menjabat sebagai anggota komisi IX DPR RI, Rieke Dyah Pitaloka, generasi muda Indonesia diduga tengah mengalami krisis kebudayaan dan krisis kepercayaan. Menurutnya, krisis tersebut ditengarai lahir dari ketidaksiapan masyarakat menerima globalisasi.
Rieke Diah Pitaloka menganalogikan adanya ketidayakinan terhadap budaya lokal membuat masyarakat seperti 'tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri'. "Jangan sampai kebudayaan lokal hilang di era globalisasi ini tetapi harus semakin baik." Papar beliau di situs pribadinya www.riekediahpitaloka.com.
Kebudayaan, masih menurut Rieke Diah Pitaloka adalah pembentuk kepribadian bangsa. Namun yang terjadi, masyarakat justru terbawa oleh arus globalisasi. Sehingga, kebudayaan lokal malah ditinggalkan dan dianggap ketinggalan jaman.
Sudah selazimnya, kaum muda bergerak gesit dan dinamis. Tingkah lakunya seringkali diperhatikan dan dianggap penting. Mungkin karena ada istilah bahwa masa depan bangsa ada di tangan generasi muda. Dalam berbagai aspek, mereka dituntut untuk menjadi konseptor, juga pelopor. Kaum muda mempunyai cara khas dan independen dan tak perlu menunggu sokongan lembaga pemerintahan ketika menumbuhkan dan menjaga rasa bangganya terhadap kebudayaan lokal.
Menyoal rasa bangga pada budaya, realita di kalangan muda pada saat ini sangat jauh api dari panggang. Seiring globalisasi, kebanyakan remaja cenderung menggandrungi budaya luar. Hal ini semakin mengental didukung media massa yang ikut menjadi promotor trend. Belakangan, sebagai contoh konkret, sebagian kalangan remaja terjangkit “demam K-pop” alias mengidolakan Boy and Girl Band asal Korea, termasuk artisnya yang unyu-unyu.
Selain hapal lagu dan gerakan tarinya, akhirnya sebagian kalangan muda ini, juga penasaran dengan bahasa, cara berpakaian dan kebiasaan lainnya di Korea. Dari penasaran, berlanjut pada keinginan mempelajari budaya negeri asal ginseng itu. Fakta ini menjadi ironis ketika para remaja itu ditanya tentang bahasa daerahnya sendiri: mereka hanya bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala.
Di situasi global ini, dimana berbagai kebudayaan saling berbaur dan bergerak dinamis, para pemuda dituntut tampil spesial, berbeda dan tetap bangga dengan ciri khas budayanya. Kaum muda harus merasa beruntung, karena Indonesia memiliki kekayaan budaya yang banyak dan beragam.
Bekal utamanya tiada lain, yakni rasa percaya diri. Tinggal bagaimana masing-masing personal dari kaum muda tersebut memilih, mau melupakan dan ikut-ikutan zaman modern yang ‘tak keruan ini, atau sebaliknya, menunjukkan sikap bangga lalu mengekspresikannya dalam bentuk nyata. Membuktikan kepada orang-orang di lingkungan sekitar dan juga dunia.
Pemuda berkuasa atas tindakannya. Maka seharusnya kaum muda terus bergerak untuk menunjukkan dan menjaga identitasnya, agar ‘tak kehilangan jati diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar