Minggu, 16 September 2012

Membangun Pola Pikir Bangsa Indonesia yang Demokratis,Memiliki Daya Saing dan Spirit Nasionalisme

Sesungguhnya masih ada satu lagi pergeseran kalau ditanya tentang makna kemerdekaan yang belum terungkap yaitu kemerdekaan atas ancaman Fatwa MUI dan satu lagi ancaman kalau kita berbeda pendapat kemudian digerebek sama FPI. Hal ini merupakan bagian dari ketidak merdekaan atas refleksi kemerdekaan dibidang keyakinan hidup beragama, yang kemudian menjadi pertanyaan kita bersama. Sahabat-sahabat sekalian, seandainya manusia pada usia 60 tahun yang paling bahagia adalah kalau sudah menimang cucu, tetapi pada sebuah bangsa yang sudah mencapai usia kemerdekaan genap dalam usia yang ke 60 tahun. Dari refleksi kita hari ini apakah negeri kita sudah makmur atau belum? Sudah adil apa belum? Bangsa kita sudah sesuai dengan cita-cita kemerdekaan apa belum? Sebagaimana yang tercantum dalam statuta kemerdekaan dan yang tercantum pula dalam UUD 1945 yang oleh kawan-kawan saya disepakati untuk tidak di amandemen oleh siapapun dan bangsa Indonesia manapun.Andai saja orang-orang PKS seperti Mustofa Kamal semuanya, selesai sudah persoalan bangsa ini. Tapi persoalannya semenjak saya berkumpul dengan beliau selaku senior saya waktu menjabat ketua senat di UI dulu yang punya pemandangan seperti Mustofa Kamal dari sekian banyak jumlahnya, ya Mustofa Kamal sendiri dari dulu, karena akan menjadi persoalan tersendiri nantinya. Sahabat-sahabat sekalian setidaknya di tengah kemerdekaan Indonesia yang genap berusia 60 tahun ini, padahal sudah sering saya sampaikan di depan kader-kader PMII ternyata masih tetap belum mengalami perubahan yang sangat berarti bagi bangsa ini.
Pertama, yang masih menjadi persoalan adalah hubungan sipil dan militer, ini sejak Indonesia merdeka sampai sekarang masih belum selesai hingga ini akan menjadi bisul sampai kapan pun kalau tidak diselesaikan, setiap ada calon Presiden, ada calon Kepala Daerah yang berasal dari militer masih saja ada aktivis terutama PMII, KONTRAS, KOMNAS HAM, pasti akan membentangkan spanduk dengan pernyataan tolak militer dan sebagainya, hal ini menjadikan problem yang harus cepat dilakukan redefinisi bagaimana pola hubungan sipil-militer yang sesuai, hingga ada platform bersama.
Kedua, yang perlu diselesaikan yaitu hubungan agama dan negara, ketika ada kasus seperti Ahmadiyah sebagai salah satu contoh yang semua itu harus diyakini sebagai bentuk kebebasan berpikir, kebebasan beraliran yang semua itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar. Perkara benar atau tidak benar itu urusan lain, perkara sah atau tidak sah itu urusan lain, karena perkara sholat atau tidak sholat juga perkara lain, perkara mengakui Nabi-nya itu si batu atau si badui juga perkara lain. Tapi dia masih baik karena punya keyakinan dari pada tidak punya keyakinan dan hal ini juga dilindungi oleh undang-undang dan itu Undang-Undang dasar 1945. Tapi dalam kenyataan yang ada masih saja ada pihak-pihak yang menyerukan fatwa, serta fatwa itu diserahkan kepada pemerintah dengan secara paksa untuk menyetujuinya bahkan mengakui dan merespon fatwa tersebut. Hal ini menandakan masih banyak masalah antara hubungan agama dengan negara, banyak sekali yang belum disadari antara warga negara bahwa yang namanya agama adalah urusan private domain atau urusan individu masing-masing warga negara, sementara negaranya hanya mengurusi administrasi, keamanan dan lain sebagainya, sebagaimana mengacu pada bentuk sebuah negara modern inilah yang menjadi inti persoalan yang kedua.
Persoalan yang ketiga, yang sampai sekarang sedang hangat-hangatnya yaitu kasus Papua dan Aceh adalah refleksi dari belum tuntasnya hubungan pusat dan daerah, kita tidak pernah mempunyai konsep keadilan dan kesejahteraan yang optimal antara pusat dan daerah pada satu sisi undang-undang otonomi daerah yang lama dimaknai suatu konsep yang daerah sentris, sebaliknya pada pola jaman Orde Baru dimaknai terlalu pusat sentris karena itu perlu adanya suatu keseimbangan bagaimana hubungan pusat dan daerah itu dijembatani. Munculnya ketidakpuasan di Papua, munculnya pemberontakan di Aceh bahkan dulu waktu masih Timor timur bersatu dengan Indonesia juga terjadi, itu merupakan refleksi dari ketidakadilan antara pusat dan daerah.
Keempat, yaitu problem demokrasi versus nasionalisme, hal ini sangat berbahaya ketika negara tersebut ditarik dalam sebuah keran demokrasi, tapi kemudian orang banyak memaknai seakan-akan idiom demokrasi itu tidak lahir dari rahim kebudayaan Indonesia. Bahkan demokrasi seolah bukan kosa kata dari Indonesia, bahwa demokrasi yang berindikasi pada sebuah kebebasan, pengakuan hak-hak seseorang, persamaan, keadilan dan sebagainya sebagai jargon barat yang harus dilawan serta dihadapkan dengan kultur Indonesia atau dengan isu-isu nasionalisme. Salah satu implikasi demokrasi dalam bidang ekonomi adalah privatisasi yang kemudian dihadapkan dengan nasionalisme padahal tidak ada kaitannya antara dunia privatisasi dengan dunia nasionalisme. Hal tersebut masih ada (merupakan) persoalan yang mengganjal di tengah-tengah kita oleh karena itu problem yang muncul ke tengah-tengah kita sekarang di antara keempat (hal) ini maka harus diselesaikan secepat mungkin pada kurun waktu Indonesia merdeka yang ke 60 tahun ini.
Pelan-pelan tapi pasti karena persoalan ini tidak hanya pada persoalan yuridis formal semata, tapi ini adalah persoalan mentalitas, pola pikir bangsa Indonesia dalam kerangka konsep dan paradigma ke-Indonesiaan yang utuh, komprehensif dan utuh. Sehingga dapat dimaknai sebagai suatu kerangka negara yang pada satu sisi adalah demokratis, memiliki daya saing tinggi tetap mempunyai spirit nasionalisme yang kuat, itu kata kuncinya. Untuk memenuhi itu semua dibutuhkan elemen yang sangat penting yakni bentuk pengawasan DPR terhadap pemerintah. Kalau kita coba analisis serta bandingkan antara DPR periode 1999 sampai dengan 2004, itu banyak sekali berbagai bentuk produk-produk hukum dalam bentuk undang-undang dengan istilah kosa kata rekan-rekan di DPR pada waktu itu dikatakan alamnya, alam nasroh karena banyak sekali prodak politik dan undang-undang yang dibuat.
Kemudian pengawasan apa yang disampaikan oleh DPR itu selalu mempunyai resonansi yang kuat di tengah-tengah eksekutif tetapi alam nasroh ini sudah berubah ketika DPR periode 2004 refleksi sampai 10 bulah terakhir ini berbagai akrobasi politik sebagai bentuk pengawasan yang dilakukan oleh saudara saya Faisal dari F-PKB dan kawan-kawan mau membuat interpelasi, angket ini, angket itu dan sebagainya. Semuanya tidak ada yang menjadi produk politik, semuanya mentah dan ujung-ujungnya hanya selesai di atas meja, yakni oleh para pimpinan fraksinya masing-masing. Hal ini juga suatu bentuk pengawasan anggota DPR terhadap pemerintah.
Tentang kegagalan para pemimpin negeri ini, dalam konteks demokrasi memang ini suatu pembelajaran yang sangat besar bagi kita semua. Karena kita belum pernah mengalami sebuah fase dimana proses demokrasi, stabilitas dan kemakmuran menjadi satu dari ketiga unsur tersebut menjadi penting dalam membangun sebuah negara, kalau kita mengutip apa yang disampaikan pada awal-awal Orde Baru bangkit oleh mantan Presiden Direktur ford foundation yaitu John Jean Jericksen ia mengatakan di dalam kancah demokrasi harus ada empat elemen yang menyertainya, yang pertama adalah Freedom Society atau kemerdekaan (kebebasan) masyarakat dalam konteks ini kita sekarang mengalaminya. Apa saja dapat dilakukan, bahkan ada satu istilah pada kalangan aktivis, segala hal sekarang ini kita dapat lakukan aktivitas dari mulai tidur sampai dengan tidur lagi. Namun ada dua hal yang tidak bebas yaitu merokok di pom bensin (SPBU) dan pakai alas kaki di dalam masjid karena kalau merokok di tempat pom bensin mesti meledak, sementara kalau pakai alas kaki di dalam masjid pasti akan terjadi huru-hara seperti yang terjadi di Tanjung Priok dulu.
Pada era Soekarno pengembangan elemen kebebasan itu sangat bebas sekali, tapi tidak stabil, yang terjadi adalah pemberontakan dimana-mana. Sebaliknya pada zaman Soeharto anti tesa pada zaman Soekarno kondisi negara sangat stabil, tapi tidak ada kebebasan sama sekali. Jadi kalau misalnya saya jadi anggota DPR dari partai Golkar pada zaman Soeharto, hadir pada acara seperti ini jangan-jangan besok akan ada SK pemecatan buat saya. Tapi karena memang sekarang landscape-nya berbeda jadi boleh-boleh saja. Sedangkan pada zaman Gus Dur semua hal sangat bebas dan juga sangat tidak stabil, kondisi negara, segala hal dibicarakan sebebas-bebasnya. Jamannya Mbak Mega otokritiknya masih agak bebas walau tak sebebas zaman Gus Dur, pemerintahannya juga kurang stabil, penggusuran terjadi dimana-mana. Serta rekan-rekan anggota DPR dari PDIP juga agak kurang bebas terutama sama suaminya Mbak Mega.
Kita berharap banyak sama pemerintahan SBY sekarang yang dipilih langsung oleh rakyat serta mendapat mandat langsung dari rakyat, agar selain mendapat kebebasan juga stabilitas dan kemakmuran dapat tercapai. Karena pada alam demokrasi tidak hanya harus ada elemen freedom society, melainkan kedua elemen lainnya juga harus terpenuhi sebagai penopang dari demokrasi itu sendiri. Selain itu terhadap aktivis pejuang demokrasi juga terdapat social order (ketaatan sosial). Ketiga, adanya law inforcement, sementara yang keempat adalah sebagai muara terakhir dari tujuan demokrasi itu sendiri dengan terciptanya suatu kesejahteraan masyarakat yaitu Welfare Society. Tapi kalau hari ini negara kita menyatakan sudah berada pada alam demokrasi, tapi kenyataanya tidak adanya kesejahteraan di dalam masyarakatnya, kita wajib untuk mengevaluasi sistem kenegaraan yang kita bangun, karena dari sistem yang kita buat adalah terciptanya kesejahteraan sosial dalam masyarakat.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Amartya Sen yang sempat meraih nobel berasal dari India dalam bukunya menyatakan bahwa semakin demokratis suatu bangsa maka akan semakin sejahtera bangsa itu. Permasalahannya di Indonesia sudah begitu luas karena begitu demokrasi dibuka, apakah ada tanda-tanda kesejahteraan? Nampaknya tanda-tanda kesejahteraan itu sudah mulai ada dalam konteks terciptanya kesejahteraan, serta hendaknya pemerintah dengan tegas untuk secepatnya menaikkan harga BBM. Kenapa? karena pada satu sisi memang kenaikan harga BBM itu sangat menyakitkan, tapi tidak ada pilihan lain bagi sebuah negara yang menganut demokrasi tidak ada yang namanya subsidi, tapi karena tidak ada keseimbangan di dalam masyarakat, maka tugas pemerintah adalah menciptakan sebuah kondisi yang demokratis, tapi tidak terciptanya kesenjangan sosial pangkal persoalannya kan disitu.
Problem hari ini kenapa masih banyak mahasiswa yang selalu protes ketika BBM dinaikkan karena dengan asumsi tidak sesuai dengan standar harga. Sementara pelayanan pemerintah terhadap masyarakat pun tidak sesuai dengan daya beli masyarakat padahal standar yang terjadi pada harga kopi, besi, baja, semen dan sebagainya sudah menggunakan standar harga internasional sehingga harganya melambung tinggi. Sementara kualitas pelayanan birokrasi tidak menggunakan standar internasional yang sama, hal itu seharusnya juga menggunakan standar yang sama. Kita ambil contoh, misalnya Estonia sebuah negara kecil yang penduduknya sekitar satu juta seratus orang, merdeka pada tahun 1993 karena merupakan pecahan dari Uni Soviet. Negara ini dijadikan pilot project oleh Michael Volter dalam bukunya on competition isinya menarik sekali tentang suatu konsep negara kesejahteraan, dengan berbagai sistem teknologi komunikasi yang luar biasa. Padahal dulunya negara yang miskin, mereka ikut komunis. Setelah Uni Soviet pecah kemudian memerdekakan diri dengan melakukan reborn menjadi sebuah negara yang demokratis, hingga pada tahun 2001 telah masuk dan memenuhi syarat, hingga diterima menjadi masyarakat ekonomi eropa dan menjadi bagian dari negara Uni Eropa dengan income perkapitanya sebesar $ 9000 US, bandingkan dengan Indonesia yang hanya sekitar $ 700 US, itu juga tidak merata.
Saya ingin mengatakan, negara yang masih mensubsidi itu pelan-pelan dicabut karena itu sebuah keniscayaan, jadi kalau kalian juga mau protes itu juga bagian dari keniscayaan karena kalian mahasiswa. Bukan mahasiswa kalau tidak protes dan kalau tidak demonstrasi nantinya tidak mendapat perhatian dari yang lain. Maksud saya adalah kalau pemerintah menaikan harga BBM adalah keniscayaan tapi kalau pemerintah di demo mahasiswa habis-habisan juga keniscayaan. Paling kuat juga cuma satu bulan. Pada tanggal 14 maret tahun 1971 almarhum Subchan ZE diwawancarai oleh harian Pedoman Indonesia yang di pimpin oleh Rosihan Anwar ketika ditanya persoalan utang Indonesia termasuk komentar soal korupsi Pertamina yang dilakukan oleh Ibnu Sutowo kalau saja persoalan ini ditindaklanjuti oleh pemerintah saat itu, mungkin Indonesia akan terus-menerus menjadi pengekspor minyak di dunia, lantas apa yang dijawab oleh almarhum Subchan  ZE “tidak ada sesuatu yang baru di bawah terik matahari ini.”                  
Berkaitan dengan pertanyaan mengenai lemahnya kinerja legislatif, ada beberapa analisa yang mengatakan mengapa fungsi pengawasan DPR tahun 2004 sampai sekarang tidak efektif bahkan tidak mendapatkan resonansi dan respon yang positif dari eksekutif sehingga banyak anggota DPR yang mengatakan bahwa DPR yang sekarang itu alamnya, alam taro, jadi kalau alam taro itu nunggu barhasil kalau ada burung ababil datang. Ada banyak analisis tentang itu, pertama bentuk arogansi pemerintah, mentang-mentang pemerintah sekarang memiliki legitimasi yang kuat bila di banding dengan DPR, karena pemerintah dipilih secara langsung oleh rakyat hingga merasa memiliki total and full legitimasi. Sementara anggota DPR hanya dipilih oleh sekitar, ada yang dipilih dengan jumlah 2 ribu, 17 ribu, ada yang di pilih 23 ribu seperti saya ini, tidak tahu Faisal (F-KB) jumlahnya berapa? Sehingga kita ibarat kalah awu (baca: kuat), kalah legitimasi dengan Presiden apabila dibandingkan 40 juta sampai dengan 60 juta pemilih, putaran pertama 35 juta sementara putaran kedua ada sekitar 65 juta pemilih. Hal ini yang membuat pemerintah merasa memiliki legitimasi lebih tinggi.
Kedua, mengapa peran pengawasan DPR tidak efektif dan tidak memiliki respon dan resonansi politik yang sangat kuat dari pemerintah, sehingga segala produk hukum dan produk politik di DPR sampai dengan sepuluh bulan ini baru sekitar dua buah undang-undang yang di ketok oleh DPR. Ternyata undang-undang yang dibuat oleh anggota DPR itu adalah undang-undang yang tidak bermanfaat banyak terhadap rakyat kecil yaitu mengenai industrial yang tidak ada sama sekali hubungannya dengan petani atau rakyat, dan undang-undang RAPBN. Seharusnya hal seperti ini dijadikan rutinitas tahunan. Kalau pemerintah dan DPR membuat suatu rancangan APBN. Akhirnya anggota DPR itu, walaupun ternyata terpaksa dibuat, karena kalau tidak disahkan nantinya tidak dapat bagian fraksi-fraksinya, terutama yang menyangkut panitia anggaran yang ada disini yaitu pak Yacobus (F PDI-P) dan Faisal.
Ketiga, adalah ketidakseimbangan berbeda dengan dahulu, mengapa dulu peran dari DPR sangat penting, karena kekuatan oposisi dengan kekuatan pemerintah lebih kuat kekuatan oposisi, dulu pada waktu jaman Gus Dur praktis hanya PKB dan 1/3 dari PDI-P yang mendukung Gus Dur, tetapi sekarang praktis yang menjadi oposisi murni hanya PDI-P kalau Faisal hanya mengikuti walau hanya sedikit-sedikit, karena landscape yang tidak seimbang ini, apapun yang dilakoni oleh PDI-P bisa ditakar oleh kekuatan politik pendukung dari pemerintah paling maksimal sekitar 150 versus 400 yang mendukung pemerintah. Berbeda seandainya dulu, misalkan koalisi kebangsaan masih utuh, itu lain hal ceritanya, pasti dunia demokrasi akan lebih menarik. Kalau hangat-hangat sedikit, mahasiswa juga memiliki peran untuk demontrasi, kalau tidak ada hangat-hangat sedikit sampai tidak ada kegiatan, buatannya hanya selamatan seperti ini, yang menandakan bahwa membuat fungsi pengawasan seolah tidak ada. Hal ini menimbulkan pendapat-pendapat yang ada kalau menurut saya sebagai rekomendasi adalah dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan atau analisis.
Keempat, memang kualitas dari anggota DPR sangat tidak mumpuni, sehingga tidak punya resonansi yang kuat, tapi kalau tidak mempunyai kualitas saya tidak percaya karena disitu ada Didik J. Rachbini. Ada orang hebat, termasuk ada saya juga, kok masih begini kalau dikatakan tidak hebat, yang jelas tidak seperti itu. Oleh karena itu, saran saya ke depan kalau fungsi pengawasan ini dibiarkan berjalan seperti sekarang ini akan tidak baik, rekomendasi saya adalah pertama tidak ada pilihan lain ke depan harus ada distrik pemilihan DPR, supaya legitimasi DPR dengan legitimasi pemerintah sama. Hingga pemerintah tidak lagi merasa arogan, mentang-mentang tidak bisa menjatuhkan kemudian dia tidak mendengarkan aspirasi dari anggota DPR, ini yang pertama.
Kemudian yang kedua ketika landscape politik dimana posisi DPR lemah seperti sekarang, yang dilakoni oleh PDI-P dalam situasi seperti ini, maka mau tidak mau dalam rangka meningkatkan kontrol terhadap pemerintah harus dapat melibatkan atau berkoalisi dengan kelompok civil society agar lebih massif gerakannya serta lebih banyak berkoalisi dengan LSM, mahasiswa dan rakyat serta kelompok-kelompok lain, agar dapat melakukan pressure dan melakukan pengawasan kepada pemerintah. Alhasil ketika oposisi melemah maka sangat dibutuhkan gerakan ekstra parlementer ini ketika parlemen tidak berfungsi, atau tidak sensitif terhadap problem yang ada. Tapi menurut saya sampai saat ini Golkar selalu sensitif dan selalu responsif sehingga tidak perlu ada kekutan seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar