Kamis, 25 September 2014

Paradikma PMII

A.  Hantaran
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology; 1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973).

Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma yaitu :.
a.    Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
b.    Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum.
c.     Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan
Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).
Sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.

B. Apakah yang disebut Teori kritis?
Apa sebenarnya makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt.
Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman.

Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).

Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.

Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).

Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).

Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya.

Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
a.    Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi.
b.    Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi.
c.     Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo.
d.    Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi.
e.    Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.

Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis)
2. Berpikir empiris-historis
3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praxis
4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).

Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat.

Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.

1. Kritik dalam pengertian Kant.
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.

2. Kritik dalam pengertian Hegelian.
Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.

3. Kritik dalam pengertian Marxian.
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.

4. Kritik dalam pengertian Freudian.
Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat:
a.    Bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
b.    Berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
c.     Tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
C. Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma
:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional.

Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.

2. Conflic Paradigma (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa :- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan- Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan.

3. Plural Paradigma (Paradigma plural)
Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.

D. Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan kolaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.

Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada :
a.    Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
b.    Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.
c.     Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
d.    Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
e.    Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
E. Kritis dan Transformatif
Namun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif” melengkapi teori kritis.

Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain :
1. Transformasi dari Elitisme ke Populisme
Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.

2. Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.

3. Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.

4. Transformasi dari Individu ke Massa
Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong.

Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).
F. Fungsi (PKT ) yang diterapkan di PMII ?
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan.

Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik.
Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII. (Lap-jetlie)

Strategi Pengembangan PMII

Sebagai organisasi gerakan dan pengkaderan, PMII harus tetap mempunyai komitmen untuk bisa survive dalam semua kondisi, situasi dan segala bentuk perubahan tatat aturan amain baik di Indonesia (nasional) maupun internasional. Hal ini menjadi logis, karena PMII didirikan buka untuk bertahan dalam kurun waktu selama 1,2, ….10 tahun, tetapi PMII ada untuk tetap memperjuangkan social mandatory dan amanat sebagaimana termaktub dalam Nilai Dasar Pergerakan dan visi-mis organisasi. Untuk itu kemampuan dan analisa PMII sebagai organisasi untuk melihat segala fenomena dan bentuk perubahan perilaku baik individu, Negara masyarakat dan dunia menjadi mutlak keberadaannya.
A. Mencari Modal Gerakan
Tatapan Internacional
a.  Keberadaan Indonesia tidak lepas dari pergerakan diluar apalagi dalam trend dunia yang mengglobal. Globalisasi merupakan sebuah fenomena yang tidak bisa dihindari, globalisasi akan menciptakan pasar perekoneomian dunia menjadi menyatu (borderless market) tak hanya pada sector ekonomi, social budaya pun mengalami hal yang serupa (borderless society). Globalisasi telah menciptakan idealisasi global yang mengakibatkan transedensi dari nilai-nilai etatosentris. Nilai-nilai baru tersebut mengatasi keterlibatan dengan nilai-nilai berbangsa menuju nilai-nilai yang berlaku universal. Hal ini berarti akan terjadi pergeseran atau perubahan penghayatan nilai-nilai yang mengakibatkan adanya suatu goncangan budaya (cultural shock).
Menurut konsepnya Ernest Renan, bangsa merupakan suatu kelompok manusia yang mempunyai kehendak atau tekad untuk tetap hidup bersama (le desire de vivre ensamble) yang mempunyai suatu rasa senasib dalam masa lampau terutama didalam penderitaan bersama.
Bangsa Indonesia adalah sebuah lokus yang didalamnya terdapat kekayaan tradisi, sistem nilai, cita-cita luhur kemanusiaan, moralitas keagamaan, dan naluri social untuk membentuk sebuah Negara bangsa (nation state) yang didalamnya kita semua bisa tumbuh dan tinggal secara nyaman dan beradab. Pertumbuhan inilah yang secara social-antropologis kita sepakati sebagai ‘’kontrak sosial’ dan ‘komitmen politik’ untuk bersama-sama membangun, menjaga dan memiliki rumah Indonesia yang harus menjaga etika bertetangga dengan rumah bangsa dan negara lain.
b. Konsolidasi politik negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menganut demokrasi liberal pasca perang dunia ke-2, untuk menciptakan format baru penjajahan dari kolonialisme dan imperialisme lama. Konsolidasi tersebut menghasilkan adanya pertukaran politik global sehingga memunculkan imperium global yang diikuti dengan perkembangan diplomasi multilateral, dan regulasi internasional dan pembentukan-pembentukan institusi politik global, seperti PBB, EEC (Economic Europe Comunity), Uni Eropa, NAFTA etc.
Institusi politik internasional inilah akan menciptakan role of the game atau aturan main percaturan politik global berskala internacional khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan, perang dan perdamaian. Perkembangan politik internasional tersebut akan menghilangkan sekat-sekat batas negara sehingga akan memunculkan rezim internasional yang mempunyai pengaruh cukup signifikan dan memiliki otoritas untuk menentukan masa depan negara-negara yang lain.
c.  Posisi Indonesia yang merupakan bagian dari dunia, tidak akan mungkin lagi terhindar dari proses internasionalisasi politik tersebut, apalagi dengan kondisi geografis Indonesia yang sanagat strategis. Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi bagian kecil dalam pentas dunia. Pemerintah Indonesia dan negara-negara ketiga lainnya akan semakin kehilangan kontrol atas arus informasi, teknologi penyakit, migrasi, senjata, dan transaksi finansial baik legal maupun ilegal yang melintasi batas-batas wilayahnya. Aktor non negara , mulai dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non profit akan semakin memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasional. Kualitas pemerintahan nasional dan internasional akan ditentukan oleh tingkat keberhasilan negara dan masyarakat dalam mengatasi kekuatan-kekuatan global diatas.
d. Oleh Karena itu, kita perlu melihat Indonesia dalam gambar dan ruang yang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat Indonesia sebagai bagian dari sebuah sistem dunia yang sedang berjalan, kita dapat mengenali relasi apa yang sedang terjadi dalam sebuah peristiwa. Dengan mengenali relasinya kita dapat melihat pola-pola yang digunakan oleh sistem tersebut untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif sistem dunia ini, lalu bagaimana kita menhubungkan perubahan-perubahan internal Indonesia dengan sistem dunia ini? Jawaban ada pada diri kader Pergerakan.
B. Stretegi dan Taktik Kaderisasi
Sebuah gerakan yang rapi dan masif harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi dan wilayah perbutan. Tanpa menggunakan logika ini maka gerakan akan selalau terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa meninggalkan apa-apa selain kemasyhuran dan kebanggan diri semata.
1.  Realitas dan Taktik Kaderisasi
a.   Sistem Rekruitmen
-       Pertimbangan Emosional (Persahabatan)
-       Pertimbangan Ideologis (karena sama-sama NU)
-       Pertimbangan Pragmatis
b.   Sistem Pengkaderan
-       Terjebak pada rutinitas pengkaderan formal
-       Lemahnya infrastruktur pengkaderan (materi, hand out, Fasilitator etc)
-       tidak adanya materi pengkadetran yang berbasis akademik/fakultatif
-       Kentalnya Hegemoni senior (baca : alumni)
-       Terabaikannya kader dari kampus umum atau eksakta
c.   Medan Distribusi
-       Alumni hanya berkumpul pada satu bidang saja (Parpol, Birokrasi, LSM, Wartawan)
-       Ketidak mampuan merebut atau menciptakan ruang baru untuk pendistribusian kader
2.  Tawaran Solusi
Dengan realitas pengkaderan tersebut maka diperlukan antara lain :
1.    Selektifitas pola rekrutmen kader.
2.    Pengadaan Materi pengkaderan yang layak dan fakultatif
3.    30 % kurikulum pengakderan berisi muatan local
4.    Adanya pelatihan instruktur atau fasilitator pelatihan secara berkala
5.    Sistem Pengkaderan di PMII harus mempertimbangkan basic keilmuan kader
6.    Membangun komunikasi yang startegis dan non hegemonik dengan alumni
7.    Merebut serta berusaha untuk mencitpakan medan distribusi bagi kader-kader PMII di dunia profesional.
Berikut ini skema proses kaderisasi yang harus terjadi di PMII. Skema di bawah ini tidak boleh ada keterputusan antara suatu proses dengan proses yang lainnya, karena antara satu dengan yang lainnya saling terkait, dan proses tersebut akan berjalan terus menerus. Skema ini paling tidak memberikan sedikit gambaran kita bahwa sistem pengkaderan PMII jangan hanya terfokus pada sisi internal saja, artinya, mencetak kader sebanyak-banyaknya tetapi tidak tahu mau didistribusikan kemana kader-kader tersebut. Untuk itu sudah saatnya kita berfikir realistis, bahwa tanggung jawab PMII secara organisasional juga terletak pada sisi pendistribusian kader pada medan-medan distribusi. Skema Strategi dan taktik pengakaderan PMII
C. Paradigma/ Cara Pandang Gerakan
Sebagai organisasi gerakan, PMII harus tetap menujukkan sifat kohesinya terhadap segala bentuk ketidak adilan,. Untuk itu diperlukan adanay cara pandang organisasi terhadap segala bentuk ketidakadilandan segala bentuk perubahan perilaku individu, masyarakat, negara dan dunia. Membangun paradigma gerakan memang sesulitr membaca kenyataan yang semstinya menjadai pijakan paradigma itu. Paradigma yang baik adalah paradigma yang yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini.
Dengan selalu berangkat dari kenyataan riil, kita akan mampu menangkap struktur apa yang sat ini sedang bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila (free wheel) peradaban yang hegemonik. Selama ini nalar mainstream yang digunakan dalam penyusunan paradigma PMII adalah nalar yang berangkat dari asumsi yang belum tentu terkait dengan kenyataan yang sehari-hari terjadi. Jadi konsep ideal (logos) itu dianggap lebih penting dan ideal daripada kenyataan.
Pertanyaanya kemudian, apakah Paradigma Kritis Transformatif (PKT) masih relevan untuk menatap realitas perubahan saat ini?. Jawabnya masih relevan, hanya problemnya terletak pada cara pandang dalam menatap sebuah realitas kekinian saja. Namun perdebatan tentang layak tidaknya PKT tersebut dirubah atau tidak forum Muspimnas bukanlah m,erupakan forum yang legitimate untuk merubah PKT tersebut dan hanya forum kongres lah yang legitimate untuk merubah paradigma PKT tersebut.
Namun beberapa catatan yang harus diingat tentang paradigma itu anatara lain:
1.   Paradigma tidak boleh resisten terhadap segala bentuk gejala dan perubahan siklus dan perilaku individu, masyarakat, negara dan dunia. Jika PMII tidak ingin tergilas oleh roda gila yang sedang berjalan, yaitu globalisasai.
2.   Paradigma harus disertai dengan contigency plan yang dapat menyelamatkan organisasi dalam situasi apapun.
3.   Paradigma yang didorong oleh startegi, sehingga pardigma tidak dianggap suatu yang baku.

Senin, 08 September 2014

INDONESIAKAH AKU

Indonesiakah aku
ketika aku diam dalam kehancuran yang rancu
ketika aku diam dalam kebijakan yang rancu
ketika aku biarkan hukum dan tatanan rancu

Indonesiakah Aku
ketika aku bersenggama dengan kerancuan yang rancu
ketika aku berpikir dengan pikiran yang rancu
akhirnya kubiarkan semua jadi rancu

Indonesiakah aku...!!!
Indonesiakah aku...!!!
Indonesiakah aku...!!!
indonesiakah Aku...!!!

ku tanya pada pada tiap hati
ku tanya pada tiap belati
hingga akhir nya mati
membawaku pada surga ataukah neraka yg tak abadi