Selasa, 26 Maret 2013

Delik Pers

Delik pers berasal dari dua kata, delik dan pers. Delik berasal dari perkataan Belanda delict yang artinya tindak pidana atau pelanggaran. Kata pers mengacu pada pengertian kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui media elektronik seperti televisi dan radio.  Jadi, delik pers artinya semua tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan melalui media massa. Mr. D. Hazewinkel Suringa dalam Inleiding tot de Studie van het Strafrecht menyatakan bahwa “Delik pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya membutuhkan publikasi pers.”
Para ahli hukum sendiri merumuskan delik pers adalah setiap pengumuman atau penyebarluasan pikiran melalui penerbitan pers. Ada tiga unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan yang dilakukan melalui pers dapat digolongkan sebagai delik pers, yaitu:
  1. Adanya pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan melalui barang cetakan.
  2. Pikiran dan perasaan yang diumumkan/disebarluaskan melalui barang cetakan itu harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hukum.
  3. Pengumuman pikiran dan perasaan yang dapat dipidana tersebut serta yang dilakukan melalui barang catakan tadi harus dapat dibuktikan telah disiarkan kepada masyarakat umum atau dipublikasikan. Jadi, syarat atau unsur terpenting adalah publikasi.
Subjek hukum delik pers.
            Subjek hukum delik pers harus dikaitkan dengan pasal 55 dan 56 KUHP, yang dikenal dengan penyertaan, yaitu keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana tergantung pada kadar atau sejauh mana orang itu terlibat dalam proses terjadinya tindak pidana.
Pasal 55 KUHP:
1)      Dipidana sebagai si pembuat suatu tindak pidana:
      Ke-1 orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu;
Ke-2 orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaa, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
2)      Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.
Pasal 56 KUHP:
      Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana:
Ke-1 orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan;
Ke-2 orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
            Dalam kaitannya dengan penerbit dan pencetak, diatur dalam pasal 61 dan 62 KUHP, sebagai berikut:
Pasal 61 KUHP:
1)      Pada kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan, maka penerbit tidak dituntut, jika pada barang cetakan itu ada tersebut nama dan tempat tinggalnya dan pembuat itu sudah ketahuan atau sudah diberitahukan oleh penerbit itu pada pertama kali ia diperingatkan akan menerangkan nama itu sesudah penuntutan berjalan.
2)      Aturan itu tidak berlaku, jikalau pada waktu penerbitan si pembuat tidak dapat dituntut atau diam di luar daerah Republik Indonesia.
Pasal 62 KUHP:
1)      Pada kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan, maka pencetak tidak dapat dituntut, jika barang cetakan itu tersebut nama dan tempat tinggal pencetak itu dan nama orang yang menyuruh cetak sudah ketahuan, atau sudah diberitahukan oleh pencetak itu pada pertama kali ia diperingtkan, akan menerangkan nama itu, sesudah penuntutan berjalan.
2)      Ketentuan ini tidak berlaku, bilamana pada waktu mencetak orang yang menyuruh cetak itu, tidak dapat dituntut atau diam di luar daerah Republik Indonesia.
Mengacu pada pasal 55, 56, 61, dan 62 KUHP di atas, maka pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana dan menjadi subjek hukum delik pers ialah:
  1. Wartawan yang membuat atau menulis berita.
  2. Redaktur, yang menilai, mengedit dan menentukan dimuatnya berita.
  3. Penerbit, yaitu badan usaha yang menerbitkan media.
  4. Pencetak, yaitu orang yang membantu melakukan perbuatan pidana.
    Penggolongan Delik Pers
                Delik pers dapat digolongkan ke dalam 5 kelompok besar, yaitu:
    1. Kejahatan terhadap ketertiban umum.
    Diatur dalam pasal-pasal 154, 155, 156, dan 157 KUHP. Pasal-pasal ini dikenal dengan nama haatzaai artikelen, yaitu pasal-pasal tentang penyebarluasan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintah.
                2. Kejahatan penghinaan.
    Dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok:
    a.       Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, diatur dalam pasal 134 dan 137 KUHP.
    Termasuk dalam kelompok ini penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum, yang diatur dalam pasal-pasal 207, 208, dan 209 KUHP.
    b.      Penghinaan umum, diatur dalam pasal-pasal 310 dan 315 KUHP.
          3. Kejahatan melakukan penghasutan.
    Diatur dalam pasal-pasal 160 dan 161 KUHP.
                4. Kejahatan menyiarkan kabar bohong.
    Diatur dalam pasal XIV dan XV Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, yang menggantikan pasal 171 KUHP yang telah dicabut.
                5. Delik kesusilaan.
    Diatur dalam pasal-pasal 282 dan 533 KUHP.
    Sifat delik pers
    Ada 2 jenis delik pers, yaitu:
    1. Delik aduan.
                Pada umumnya delik pers tergolong delik aduan (klachdelict), artinya tidak akan ada perkara kalau tidak ada yang mengadu. Sekalipun aparat penegak hukum mengetahui telah terjadi pelanggaran, tetapi tidak bisa mengambil inisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan.
                Pasal-pasal dalam KUHP yang terkait dengan delik aduan adalah:
  5. Pasal 310 (penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang).
  6. Pasal 311 (fitnah).
  7. Pasal 315 (penghinaan ringan terhadap seseorang).
  8. Pasal 316 ( penghinaan terhadap pejabat pada waktu atau atau menjalankan tugasnya yang sah).
  9. Pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa).
  10. Pasal 320 (pencemaran terhadap seseorang yang sudah mati).
  11. Pasal 321 (penghinaan atau pencemaran nama seseorang yang sudah mati).
2. Delik biasa.
            Tidak perlu ada pengaduan, karena itu aparat penegak hukum wajib melakukan tindakan hukum apabila mengetahui telah terjadi pelanggaran atau kejahatan.
  1. Pasal 112 dan 113 (pembocoran rahasia negara).
  2. Pasal 134 dan 137 (penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden).
  3. Pasal 142, 143, dan 144 (penghinaan terhadap raja atau kepala negara sahabat, atau orang yang mewakili negara asing di Indonesia).
  4. Pasal 154 dan 155 ( pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia).
  5. Pasal 156 dan 157 (pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia).
  6. Pasal 156a (pernyataan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia).
  7. Pasal 160 dan 161 (penghasutan untuk melakukan perbuatan pidana atau menentang penguasa umum dengan kekerasan).
  8. Pasal 162 dan 163 (penawaran untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana guna melakukan tindak pidana).
  9. Pasal 207 dan 208 (penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia).
  10. Pasal 282, 532, 533, dan 534 (kesusilaan).

TINJAUAN TERHADAP DELIK PERS

  1. Delik Kebencian (Haatzaai Artikelen)
Haatzaai-artikelen berasal dari dua kata bahasa Belanda yang artinya masing-masing: Haat = (benih) kebencian; zaaien = menabur, menanam benih (perselisihan, kebencian); artikel = tulisan atau karangan, bentuk jamaknya adalah artikelen. Jika diterjemahkan secara bebas, haatzaai-artikelen ini bisa disalin dengan “karangan-karangan yang menabur benih kebencian.”
Apa yang termasuk dalam haatzaai-artikelen ini dinyatakan secara jelas dalam pasal 154 KUHP, yang berbunyi: “Barangsiapa menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia di muka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Atau pasal 155 KUHP, ayat 1, yang menyatakan: ”Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isisnya diketahui oleh umum, diancam…”
Menengok catatan sejarah, pencantuman pasal ini ke dalam Wetboek Strafrecht voor Nederlands Indie (WvSNI) atau yang sekarang dikenal KUHP-berdasarkan pasal VI UU No. 1 Tahun 1946-sesungguhnya WvSNI merupakan konkordan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang dipakai di Belanda, tetapi pasal haatzaai tersebut justru tidak terdapat di dalam WvS itu sendiri.
Jelaslah maksud Pemerintah Belanda mencantumkan pasal haatzaai pada WvSNI untuk meredam pandangan kritis bangsa Indonesia yang dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak. Kata-kata dalam pasal ini sangat tidak jelas batasannya sehingga bertentangan dengan asas lex certa. Unsur “menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan” dapat ditafsirkan sangat luas. Dalam proses peradilan yang tidak independen, hal ini sangat merugikan pihak yang diduga melakukan tindak pidana itu.
            Delik haatzaai ini dirumuskan sebagai “delik formal”, yang berarti tidak perlu pembuktian terjadinya kerugian akibat pemberitaan tersebut. Tetapi, dalam KUHP baru, pasal ini dirumuskan menjadi delik materiel. Pelanggaran pidana yang terjadi harus dibuktikan dulu, dalam hal ini akibat pemberitaan pers memang terbukti merugikan publik, untuk dapat dianggap terjadi pelanggaran delik kebencian dan permusuhan, sebelum proses pidana kepada pelaku, pembuat, pemuat, atau yang menyiarkan berita bisa dilakukan.
            Selain pasal di atas, yang dianggap sebagai haatzaaien, adalah perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur yang dimuat dalam pasal 156 dan 156a serta pasal 157 KUHP. Pasal 156 dan 157 adalah pasal yang mengandung unsur yang dapat menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat karena masalah SARA. Sedangkan pasal 156a diterapkan apabila perbuatan pelaku dianggap bersifat penodaan terhadap agama tertentu.

  1. Delik Penghinaan (Pencemaran Nama Baik)
Tabel Pasal-pasal Penghinaan
Pasal
Nama Pelanggaran
Ringkasan ketentuan
Ancaman Pidana
134,
136,
137
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
Menyiarkan, menunjukkan, menempelkan di muka umum
6 tahun
142
Penghinaan terhadap Raja/ Kepala Negara sahabat

5 tahun
143, 144
Penghinaan terhadap wakil negara asing

5 tahun
207, 208, 209
Penghinaan terhadap Penguasa dan badan Umum

6 bulan
310, 311, 315, 316
Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang
- tuduhan
- dengan tulisan
9 bulan
16 bulan
317
Fitnah pemberitahuan palsu
Pengaduan palsu
4 tahun
320, 321
Penghinaan / pencemaran nama baik orang mati

4 bulan

            Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan. Akibatnya perkara hukum yang terjadi sering kali merupakan penafsiran yang subjektif. Seseorang dengan mudah dapat menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers. Selain itu, ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet” karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan.
            Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam 5 kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan, dan fitnah tuduhan. Penafsiran adanya penghinaan (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
  1. Dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar).
  2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung tuduhan tersebut.
  3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.

3. Delik kabar bohong
            Wartawan atau pers yang menyebarkan berita berdassarkan desas-desus, rumor, atau informasi sepihak bisa terjebak dalam delik kabar bohong, khususnya jika berita itu berakibat merugikan pihak lain. Ketentuan pidana penyebaran kabar bohong diatur dalam pasal XIV dan XV UU No. 1 tahun 1946, yang menggantikan pasal 171 KUHP yang telah dicabut.
Pasal XIV UU No. 1 tahun1946:
  1. Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
  2. Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya tiga tahun.
Pasal XV UU No.1 tahun1946:
            Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti, setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga tahun.
            Dalam prinsip jurnalistik dikenal istilah absence of malice (tanpa niat jahat) ketika media pers menyebarkan informasi yang keliru; hal itu semata-mata karena kesalahan yang dilakukan tanpa kesengajaan. Jika pers menyebarkan kebohongan secara sadar atau sengaja, itu berarti media pers tersebut telah mengkhianati profesinya.

4.      Delik Kesusilaan (Pornografi)
Rumitnya masalah pornografi ini, agaknya, tercermin pula dalam aturan hukum. Dalam KUHP tidak ditemukan perumusan yuridis dari istilah pornografi. Menurut teks KUHP Belanda (tahun 1886) yang menjadi cikal bakal KUHP kita, pada pasal 281 yang dilarang adalah openbare schennis de eerbaarheid (melanggar susila secara terbuka), sedangkan dalam pasal 282 digunakan kata-kata anstotelijk voor de eerbaarheid (melanggar perasaan susila).
Pasal-pasal KUHP yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan adalah pasal-pasal 281, 282, 532, dan 533. Jika kita mempersoalkan pornografi sebagai delik pers, maka yang dimaksud adalah larangan yang diancam dengan ketentuan hukum pidana dalam pasal-pasal 282 dan 533 KUHP.
Pasal 282 KUHP:
Barang siapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan suatu yang diketahui isinya, atau suatu gambar atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan, maupun membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan, gambar atau barang itu untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan sehingga kelihatan oleh orang banyak, ataupun dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan sesuatu surat, ataupun dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan sesuatu surat, ataupun dengan berterang-terangan diminta atau menunjukkan bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh didapat, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 45.000.
Pasal tersebut tidak secara khusus ditujukan kepada pers, namun mengingat sifat media massa yang terbuka dan dikonsumsi oleh orang banyak menjadikan pers rentan terhadap pasal-pasal kesusilaan. Kebebasan pers yang mulai berlaku pada tahun1998 telah melahirkan berbagai terbitan majalah dan tabloid, acara televise dan siaran radio yang menampilkan foto/artikel serta siaran visual yang bersifat sensual. Pada sebagian anggota masyarakat, kecenderungan tersebut menimbulkan keresahan dan antipati.
KASUS-KASUS DELIK PERS

Beberapa kasus tuntutan hukum penghinaan terhadap berita media cetak

Media/Edisi
Judul
Kasus/Dakwaan
Hasil Akhir
Tempo,
10 April 1982
Laporan Kampanye Pemilu 1982
Dinilai melanggar pasal 207, penghinaan pada pemerintah
dibekukan
Editor,
27 Mei 1989
Sultan Brunei, Antara Mitos dan Fakta
Dianggap memberi citra negatif terhadap kepala negara sesama ASEAN
diperingatkan
Pos Kota,
Juni 1990
Permainan Sidang Tilang di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
Pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah diralat
Bebas

Warta Republik,
25 Agust 1999
Cinta Segitiga Dua Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudrajat Berebut Janda
Pencemaran nama baik Try S. dan Edi S. Sumber berita tidak jelas, tidak konfirmasi
Hukuman percobaan
Majalah D&R,
6 Juni 1999
Tender Proyek, KKN Gubernur
Pencemaran nama baik Gubernur Sulsel
Tidak jelas
Gatra,17 Oktober 1998
Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak menyenangkan
Bebas, memenuhi kode etik
Sriwijaya Post,
25 Agust 1999
KaBakin Terima 400 Milyar
Pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
Hukuman percobaan
Tajuk,
23 Juni 1999
Di Balik Setoran Pribadi Itu
Digugat 10 milyar atas perbuatan melawan hukum
Minta maaf terbuka
Info Bisnis,
66/tahunIV/1999
Baramuli dan Kredit Rp. 800 milyar
Pencemaran nama baik
Tidak jelas

Kasus Tabloid Monitor pada tahun 1991 menyebabkan Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi, dijatuhi hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dianggap terbukti melakukan delik yang bersifat penodaan agama, dengan memuat hasil poling yang menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan sebelas sesudah tokoh-tokoh populer di Indonesia.
Contoh lain adalah yang menimpa majalah Matahari yang dicabut Surat Izin Terbit-nya pada 25 Juni 1979. Pelarangan terbit terhadap majalah ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan sehubungan dengan artikel majalah tersebut yang berjudul: “Cukong Sumber Malapetaka” (Edisi 16 Mei 1979), dan “Bangkrutnya Teknokrat ala Mafia Berkeley” (Edisi 17 Juni 1979). Dua artikel tersebut dinilai telah “melanggar batas-batas kesopanan, mengandung penghinaan dan fitnah terhadap pejabat/pimpinan pemerintahan yang dikemukakan secara sinisme” sehingga bisa dikategorikan melanggar pasal 310 (penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang).
Kasus serupa menimpa majalah Expo. Pada Januari 1984 Surat Izin Terbit majalah tersebut dibekukan sementara karena memuat laporan utama tentang “100 Milyarder Indonesia”. Laporan tersebut dinilai oleh pemerintah telah “melakukan penelanjangan pribadi yang bernada sensasi dan insinuasi.”
Salah satu contoh kasus tuntutan atas “penyebaran kabar bohong” yang pernah diajukan ke pengadilan adalah yang menimpa Harian Berita Buana pada tahun 1989. Redaktur Pelaksana harian tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dijatuhi hukuman satu setengah tahun penjara (pada 4 November 1989) karena dinilai telah menyiarkan kabar bohong mengenai makanan kaleng yang mengandung lemak babi. Berita yang dipersoalkan berjudul: ”Banyak Makanan yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi”.
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, pihak redaksi Harian Berita Buana terbukti bersalah, karena tidak berusaha meneliti kebenaran informasi yang mereka publikasikan menyangkut isu makanan kaleng yang mengandung lemak babi. Padahal, isu lemak babi sangat sensitif untuk konsumen yang beragama Islam. Akibat berita tersebut, pihak produsen makanan kaleng yang dituduh menggunakan lemak babi merasa dirugikan. Majelis hakim yang memimpin sidang berpendapat Berita Buana dengan sengaja menyebarkan berita yang belum tentu benar itu.
            Kasus mengenai delik kesusilaan dialami oleh Pemimpin redaksi Majalah Matra, Jakarta, Nano Riantiarno pada 8 Juni 2000. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Riantiarno bersalah karena telah melanggar kesusilaan dengan menyebarkuaskan dan mempertunjukkan secara terbuka suatu gambar yang diketahuinya menyinggung kesusilaan. Ia dijatuhi hukuman 5 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan. Nano dituduh melanggar pasal 282 ayat (1) KUHP, karena pemuatan foto Sarah Azhari dan Inneke Koesherawati pada gambar sampul majalah Matra edisi bulan Juni dan Juli 2000.