Sabtu, 05 Januari 2013

Perdebatan Sekularis



PARA PEMIKIR SOSIAL TERKEMUKA ABAD KE-19—AUGUSTE COMTE,
Herbert Spencer, Émile Durkheim, Max Weber, Karl Marx dan
Sigmund Freud—yakin bahwa agama perlahan-lahan akan pudar
dan tidak begitu penting perannya bersamaan dengan makin
majunya masyarakat industri.1 Mereka tidak sendirian; sejak Zaman
Pencerahan, tokoh-tokoh utama dalam filsafat, antropologi, dan
psikologi menyatakan bahwa khayalan-khayalan teologis, ritual
liturgis simbolis, dan praktik-praktik sakral adalah produk masa lalu
yang akan memudar dalam masa modern. Matinya agama
merupakan keyakinan yang luas diterima dalam ilmu-ilmu sosial
selama sebagian besar abad ke-20; tak diragukan, hal itu telah
dianggap sebagai model utama dari penelitian sosiologis, di mana
sekularisasi disejajarkan dengan birokratisasi, rasionalisasi, dan
urbanisasi sebagai revolusi-revolusi historis utama yang mengubah
masyarakat agraris lama menjadi masyarakat industri modern.
Sebagaimana dikemukakan C. Wright Mills menyangkut proses ini:
“Dunia pernah dipenuhi dengan yang-sakral—dalam pemikiran,
praktik, dan bentuk kelembagaan. Setelah Reformasi dan Renaisans,
kekuatan-kekuatan modernisasi menyapu dunia, dan sekularisasi,
sebagai proses historis yang mengikutinya, memperlemah dominasi
dari yang-sakral. Pada waktunya, yang-sakral akan sepenuhnya
menghilang, kecuali mungkin dalam wilayah pribadi.”

Namun, selama dekade terakhir ini, tesis tentang kematian
pelan-pelan dan bertahap dari agama semakin banyak dikritik; teori
sekularisasi belakangan ini mendapat tantangan yang paling berat
dan serius dalam sejarahnya yang panjang. Para kritikus menunjuk
pada berbagai indikator dari sehatnya agama dan vitalitas agama
sekarang ini, yang berkisar mulai dari semakin populernya
kehadiran di gereja di Amerika Serikat, hingga munculnya
spiritualitas New Age di Eropa Barat, berkembangnya gerakangerakan
fundamentalis dan partai keagamaan di dunia Muslim,
bangkitnya kembali kalangan evangelis di seluruh Amerika Latin,
dan menyeruaknya konflik etno-religius dalam persoalan-persoalan
internasional.3 Setelah mengulas berbagai perkembangan ini, Peter
L. Berger, salah satu pendukung utama teori sekularisasi selama
1960-an, menarik kembali klaim-klaim awalnya: “Dunia sekarang
ini, dengan beberapa pengecualian,… amat sangat religius
sebagaimana sebelumnya, dan di beberapa wilayah bahkan lebih
religius ketimbang sebelumnya. Hal ini berarti bahwa keseluruhan
kepustakaan oleh para sejarawan dan ilmuwan sosial yang secara
longgar disebut ‘teori sekularisasi’ pada dasarnya salah.”4 Dalam
sebuah kritik yang sangat keras dan kuat, Rodney Stark dan Roger
Finke menyatakan bahwa inilah saatnya untuk membuang tesis
sekularisasi: “Setelah hampir tiga abad melakukan ramalan yang
sama sekali salah dan salah menafsirkan baik masa kini dan masa
lalu, sekaranglah saatnya untuk menguburkan doktrin sekularisasi
dalam makam teori-teori yang salah, dan mendoakannya agar
doktrin itu ‘beristirahat dengan tenang.’”
Apakah Comte, Durkheim, Weber, dan Marx sepenuhnya salah
dalam keyakinan mereka tentang kemerosotan agama dalam
masyarakat industri? Apakah pandangan sosiologis yang dominan
selama abad ke-20 sepenuhnya salah? Apakah perdebatan tersebut
telah selesai? Kami kira tidak. Pembicaraan tentang pemakaman
teori sekularisasi masih terlalu dini. Kritik-kritik di atas terlalu
bersandar pada anomali-anomali tertentu dan terlalu berfokus pada
kasus-kasus Amerika Serikat (yang kebetulan merupakan suatu
kasus penyimpangan yang menonjol) dan tidak membandingkan
bukti-bukti yang ada secara sistematik di antara berbagai macam
masyarakat kaya dan miskin.6 Kita perlu bergerak lebih jauh dari
studi-studi tentang kehadiran di gereja Katolik dan Protestan di
Eropa (di mana kehadiran di gereja menurun) dan Amerika Serikat
(di mana kehadiran di gereja tetap stabil) jika kita ingin memahami
berbagai kecenderungan yang lebih luas dalam vitalitas keagamaan di gereja, masjid, kelenteng, sinagog, dan kuil di seluruh dunia.
Jelas bahwa tesis sekularisasi yang lama perlu diperbarui. Jelas
juga bahwa agama tidak menghilang, dan tampaknya agama
memang tidak mungkin menghilang. Namun, konsep sekularisasi
itu menangkap satu hal penting menyangkut apa yang sedang
terjadi. Buku ini mengembangkan suatu versi teori sekularisasi yang
diperbarui, yang menekankan tingkat di mana orang-orang
mempunyai suatu rasa aman eksistensial—yakni, perasaan bahwa
kehidupan cukup aman sehingga ia bisa dijalani begitu saja. Kami
mengembangkan elemen-elemen kunci dari ulasan-ulasan sosiologis
tradisional sambil memperbaiki elemen-elemen yang lain. Kami
percaya bahwa pentingnya religiusitas terus bertahan dengan paling
kuat di kalangan masyarakat yang rentan dan terancam, khususnya
mereka yang hidup di negara-negara yang lebih miskin, yang
menghadapi berbagai risiko yang mengancam kehidupan personal.
Kami beranggapan bahwa rasa keterancaman fisik, sosial, dan
personal merupakan faktor kunci yang mendorong religiusitas, dan
kami memperlihatkan bahwa proses sekularisasi—suatu pengikisan
sistematis dari praktik, nilai dan keyakinan keagamaan—terjadi
dengan paling jelas di kelompok-kelompok sosial yang paling
makmur yang hidup dalam masyarakat-masyarakat pascaindustri
yang kaya dan aman.
Sekularisasi adalah suatu kecenderungan, bukan suatu hukum
besi. Seseorang dapat dengan mudah berpikir tentang beberapa
pengecualian yang menonjol, seperti Osama bin Laden, yang sangat
kaya dan amat sangat religius. Namun jika kita bergerak lebih jauh
dari sekadar contoh anekdoktal seperti ini, kita akan menemukan
bahwa sekumpulan besar bukti-bukti menunjukkan hal yang
berlawanan: orang-orang yang mengalami risiko-risiko ego-tropik
selama tahun-tahun perkembangan mereka (yang merupakan
ancaman langsung bagi diri dan keluarga mereka) atau risiko-risiko
sosio-tropik (yang mengancam komunitas mereka) cenderung jauh
lebih religius dibanding mereka yang tumbuh dalam lingkungan
yang lebih aman, nyaman, dan terkendali. Dalam masyarakatmasyarakat
yang relatif aman, sisa-sisa agama tidak musnah sama
sekali; dalam berbagai survei, sebagian besar orang Eropa masih
mengungkapkan keyakinan formal pada Tuhan, atau meng iden tifi kasi
diri mereka sebagai umat Katolik atau Protestan dalam bentuk-bentuk
formal. Namun, dalam masyarakat-masyarakat ini, arti penting dan
vitalitas agama, yakni pengaruh kuatnya terhadap bagaimana orang
menjalani kehidupan mereka sehari-hari, perlahan terkikis.

Bukti yang paling meyakinkan tentang sekularisasi di negaranegara
kaya terkait dengan nilai-nilai dan perilaku: tes yang sangat
penting adalah apa yang orang katakan penting bagi kehidupan
mereka dan apa yang benar-benar mereka lakukan. Sebagaimana
yang akan dibuktikan buku ini, selama abad ke-20 di hampir semua
negara pascaindustri—mulai dari Kanada dan Swedia hingga
Prancis, Inggris dan Australia—catatan-catatan resmi gereja
melaporkan bahwa tempat-tempat di mana orang-orang biasanya
berkumpul untuk melakukan ibadah Sabbath, kini hampir tak terisi
lagi. Survei-survei yang memantau orang-orang Eropa yang hadir di
gereja selama 50 tahun terakhir menegaskan fenomena ini. Amerika
Serikat tetap merupakan pengecualian dalam hal ini, karena alasanalasan
yang akan dijelaskan secara mendetail dalam Bab 4.
Terlepas dari berbagai kecenderungan dalam sekularisasi yang
terjadi di negara-negara kaya, hal ini tidak berarti bahwa dunia
secara keseluruhan telah menjadi kurang religius. Sebagaimana yang
akan diperlihatkan oleh buku ini:
1. Publik dari hampir semua masyarakat industri maju telah ber -
gerak ke arah orientasi yang lebih sekular selama 50 tahun ter akhir.
Meskipun demikian,
2. Secara keseluruhan, di dunia sekarang ini, terdapat lebih banyak
orang dengan pandangan keagamaan tradisional dibanding
sebelumnya—dan mereka merupakan bagian dari populasi dunia
yang terus bertambah.
Meskipun kedua proposisi di atas pada awalnya mungkin tampak
kontradiktif, sesungguhnya tidaklah demikian. Seperti yang akan
kami perlihatkan nanti, kenyataan bahwa proposisi pertama
tersebut benar membantu menjelaskan yang kedua—karena
sekularisasi dan perkembangan manusia memiliki dampak negatif
yang kuat pada angka kesuburan manusia. Dalam kenyataannya,
semua negara di mana sekularisasi berlangsung paling pesat mem -
perlihatkan angka kesuburan jauh di bawah tingkat penggantian—
sementara masyarakat-masyarakat dengan orientasi keagamaan
tradisional memiliki angka kesuburan dua atau tiga kali lebih tinggi
dari tingkat penggantian. Masyarakat-masyarakat ini memuat
jumlah penduduk dunia yang semakin bertambah. Jurang yang
makin menganga antara (yang) sakral dan (yang) sekular di seluruh
dunia mempunyai dampak yang penting bagi perubahan budaya,
masyarakat dan politik dunia.

Bagian I menggunakan kerangka teoretis ini untuk mengembang -
kan dan menguji serangkaian proposisi, dan memperlihatkan
bagaimana religiusitas secara sistematis terkait dengan (i) tingkat
modernisasi masyarakat, keamanan manusia, dan ketidaksetaraan
ekonomi; (ii) tipe budaya religius yang dominan dalam suatu
masyarakat; (iii) pergeseran-pergeseran nilai suatu generasi; (iv)
sektor-sektor sosial yang berbeda; dan (v) pola-pola demografi,
angka kesuburan, dan perubahan populasi. Bagian II menganalisis
studi-studi kasus regional yang mendetail, yang membandingkan
religiusitas di Amerika Serikat dan Eropa Barat, dunia Muslim, dan
Eropa pasca-Komunis. Bagian III mengulas konsekuensikonsekuensi
sosial dan politik dari sekularisasi, dan percabanganpercabangannya
terkait dengan nilai-nilai budaya dan moral,
organisasi keagamaan dan modal sosial, dan dukungan suara bagi
partai-partai keagamaan. Bagian Kesimpulan meringkaskan ber -
bagai temuan utama dan memperlihatkan pola-pola demografis
yang menghasilkan kesenjangan agama yang melebar di seluruh
dunia.
Studi ini menggunakan sekumpulan bukti baru yang berlimpah
yang dihasilkan melalui empat gelombang Survei Nilai-nilai Dunia
(World Values Survey) yang dilakukan mulai 1981 sampai 2001.
Survei Nilai-nilai Dunia itu telah menjalankan survei-survei nasional
yang representatif di hampir 80 masyarakat, yang mencakup semua
keyakinan utama dunia. Kami juga mengkaji bukti-bukti lain yang
terkait dengan religiusitas dari berbagai sumber, termasuk polingpoling
Internasional Gallup, Program Survei Sosial Internasional
(International Social Survey Programme), dan survei-survei Euro -
barometer. Pada satu tingkat, tidak ada yang baru atau mengejutkan
menyangkut klaim-klaim kami. Suatu tradisi utama dalam sosiologi,
antropologi, sejarah, dan psikologi sosial telah lama menteorikan
bahwa berbagai perbedaan dalam religiusitas antar-budaya hadir di
banyak masyarakat di seluruh dunia. Namun, teori sekularisasi lama
telah memperoleh kritik yang kuat dan terus-menerus dari banyak
sarjana berpengaruh selama sepuluh tahun terakhir. Bukti survei
sistematis yang membandingkan sikap-sikap budaya terhadap agama
di banyak negara masih terpencar-pencar dan tidak menyeluruh, di
mana sebagian besar studi dilakukan secara terbatas pada beberapa
masyarakat pascaindustri yang makmur dan demokrasi-demokrasi
yang mapan di Eropa Barat dan Amerika Utara. Selain mengonsep -
tualisasikan kembali dan memperbaiki teori sekularisasi, studi kami
mengkaji berlimpahnya bukti survei menyangkut religiusitas tersebut dari perspektif yang lebih luas dan dalam rangkaian negara
yang lebih luas dibanding sebelumnya.


Teori-teori Sekularisasi Lama
Cabang-cabang pemikiran paling berpengaruh yang membentuk
perdebatan tentang sekularisasi secara garis besar dapat dibagi ke
dalam dua perspektif. Di satu pihak, teori-teori sisi-permintaan
(demand-side theories), yang menyoroti massa publik “dari bawah
ke atas”, menyatakan bahwa ketika masyarakat terindustrialisasi -
kan—terlepas dari apa yang dilakukan para pemimpin dan
organisasi-organisasi keagamaan—maka perilaku-perilaku religius
perlahan akan terkikis, dan publik akan menjadi acuh tak acuh
terhadap seruan-seruan spiritual. Sebaliknya, teori sisi-penawaran
(supply-side theory), yang menyoroti organisasi-organisasi
keagamaan “dari atas ke bawah”, menekankan bahwa permintaan
publik akan agama bersifat konstan dan variasi-variasi antar-negara
apa pun dalam vitalitas kehidupan spiritual merupakan produk dari
penawarannya dalam pasar-pasar keagamaan.7 Mereka yang
mendukung sisi-penawaran berpendapat bahwa organisasiorganisasi
dan para pemimpin keagamaan memainkan peran
strategis dalam membentuk dan memelihara kongregasi, yang pada
dasarnya menyatakan bahwa “jika anda membangun sebuah gereja,
maka orang-orang akan berdatangan.” Setelah menjabarkan secara
singkat ulasan-ulasan alternatif ini, kami menyimpulkan bahwa,
meskipun teori sekularisasi awal tersebut memiliki kelemahan
dalam hal-hal tertentu, teori itu benar dilihat dari perspektif sisipermintaan.
Demikianlah, kami meringkaskan teori sekularisasi
alternatif kami, yang didasarkan pada kondisi-kondisi keamanan
eksistensial, yang sepenuhnya dikembangkan dalam studi ini.

Pandangan Dunia Rasional:
Hilangnya Keyakinan
Gagasan bahwa munculnya suatu pandangan dunia yang rasional
akan meruntuhkan fondasi keyakinan pada yang supernatural, yang
misterius, dan yang magis memang telah muncul sebelum Max
Weber. Namun gagasan itu menjadi berkembang pesat akibat
pengaruh dua karya Weber, yakni The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism (1904) dan Economics and Society (1933). Banyak sosiolog terkemuka mengemukakan argumen rasionalis tersebut
lebih jauh selama 1960-an dan 1970-an, dan yang paling utama
adalah Peter Berger, David Martin, dan Brian Wilson.9
Dalam perspektif ini, masa Pencerahan menghasilkan suatu
pandangan rasional tentang dunia yang didasarkan atas standar
bukti empiris, pengetahuan ilmiah atas fenomena alam, dan
penguasaan teknologis atas alam. Rasionalisme dianggap telah
membuat klaim-klaim utama Gereja menjadi tak masuk akal dalam
masyarakat modern, serta menghapus sisa-sisa dogma khayali di
Eropa Barat. Hilangnya keyakinan tersebut dianggap menyebabkan
peran agama merosot, mengikis kebiasaan pergi ke gereja dan
ibadah ritual seremonial, menghapus makna sosial identitas
keagamaan, dan memperlemah keterlibatan aktif dalam organisasiorganisasi
yang berbasis agama dan dukungan pada partai-partai
keagamaan dalam masyarakat sipil.
Ilmu pengetahuan dan agama berada dalam posisi yang
berhadap-hadapan dalam suatu permainan kalah-menang, di mana
penjelasan-penjelasan ilmiah meruntuhkan penafsiran harfiah
ajaran-ajaran Injil dari Genesis 1 dan 2, yang dicontohkan oleh teori
evolusi Darwinian yang menghantam gagasan tentang penciptaan
khusus oleh Tuhan.10 Yang lebih penting, ilmu pengetahuan,
penerapannya melalui teknologi dan keahlian teknik, dan perluasan
pendidikan massa, semuanya memiliki dampak sosial yang lebih luas
dan tersebar, dan dengannya manusia pun diantar menuju sebuah
era budaya baru. Setelah pencerahan Eropa, kalkulasi rasional
dianggap telah mengikis secara perlahan fondasi-fondasi keyakinan
metafisik yang pokok. Gagasan tentang yang misterius dipandang
oleh Weber sebagai sesuatu yang akan ditaklukkan oleh akal budi
manusia dan dikuasai oleh produk-produk teknologi, serta tunduk
pada penjelasan-penjelasan logis yang ditemukan dalam fisika,
biologi dan kimia ketimbang pada kekuatan-kekuatan ilahiah di luar
dunia ini. Berbagai pencapaian yang mencengangkan dari ilmu
kedokteran, ilmu teknik, dan matematika—serta produk-produk
material yang dihasilkan oleh munculnya kapitalisme, teknologi dan
industri manufaktur modern selama abad ke-19—menegaskan dan
memperkuat gagasan tentang kontrol manusia atas alam.
Malapetaka pribadi, penyakit menular, banjir besar, dan perang
internasional, yang pernah dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan
supernatural, sihir primitif, dan campur tangan ilahiah, atau pada
nasib, mulai dilihat sebagai hasil dari berbagai sebab yang dapat
diprediksikan dan dikendalikan. Para pendeta, pastur, paus, rabbi dan mullah yang memohon pada otoritas ilahiah hanya menjadi satu
sumber pengetahuan dalam masyarakat modern. Mereka tidak
serta-merta menjadi sumber yang paling penting atau terpercaya
dalam banyak dimensi kehidupan, ketika keahlian mereka bersaing
dengan keahlian yang terspesialisasikan, pelatihan yang mumpuni,
dan ketrampilan-ketrampilan praktis dari para ahli ekonomi,
fisikawan, dokter, atau insinyur profesional.12 Pemisahan negara
dan gereja, dan munculnya negara-negara birokratis sekular-rasional
dan pemerintahan yang representatif, menggantikan peran para pe -
mimpin spiritual, institusi-institusi gereja, dan para penguasa yang
mengklaim otoritas dari Tuhan. Sebagaimana dikemukakan Bruce:
Industrialisasi membawa serangkaian perubahan sosial—fragmen -
tasi dunia-kehidupan, merosotnya komunitas, munculnya birokrasi,
kesadaran teknologis—yang serentak membuat agama kurang
menarik dan kurang masuk akal dibanding sebelumnya di masa
masyarakat pra-modern. Inilah kesimpulan dari sebagian besar
ilmuwan sosial, sejarawan, dan para pemimpin gereja di dunia
Barat.
Inti tesis Weberian menyoroti dampak Reformasi dan Revolusi
Industri yang terjadi beberapa abad sebelumnya, sehingga tetap sulit
untuk secara sistematis menyelidikinya dengan bukti empiris
sekarang ini. Namun jika suatu pandangan dunia rasional meng -
hasilkan skeptisisme luas menyangkut keberadaan Tuhan dan
keyakinan pada hal-hal metafisis, maka masyarakat-masyarakat
yang mengungkapkan kepercayaan yang sangat kuat pada sains
mungkin bisa dianggap paling kurang religius;


Evolusi Fungsional: Memudarnya Tujuan
Sebuah penjelasan yang terkait diberikan oleh teori-teori diferensi -
asi fungsional dalam masyarakat industri, yang meramalkan
hilangnya peran utama institusi keagamaan dalam masyarakat.
Argumen ini bermula dari karya Émile Durkheim yang ber -
pengaruh, The Elementary Forms of the Religious Life (1912), dan
pada 1950-an perspektif fungsionalis menjadi pandangan sosiologis
yang dominan.14 Teoretisi kontemporer yang mengembangkan
pandangan ini lebih jauh antara lain adalah Steve Bruce, Thomas
Luckman, dan Karel Dobbelaere.Kaum fungsionalis menegaskan bahwa agama bukan sekadar
suatu sistem keyakinan dan gagasan (seperti yang dikemukakan
Weber); ia juga merupakan suatu sistem tindakan yang mencakup
ritual-ritual formal dan upacara-upacara simbolik untuk menandai
peristiwa-peristiwa penting seperti kelahiran, pernikahan, dan
kematian, serta perayaan-perayaan musiman. Menurut Durkheim,
ritual-ritual ini memainkan fungsi yang sangat penting bagi
masyarakat secara keseluruhan dengan menjaga solidaritas dan
kohesi sosial, memelihara ketertiban dan stabilitas, dan dengan
demikian menghasilkan berbagai keuntungan kolektif. Durkheim
menyatakan bahwa masyarakat industri dicirikan oleh diferensiasi
fungsional, di mana kaum profesional dan organisasi-organisasi
tertentu—yang menangani kesehatan, pendidikan, kontrol sosial,
politik, dan kesejahteraan—menggantikan sebagian besar tugas
yang di Eropa Barat pernah dijalankan oleh biara, pendeta, dan
jemaah gereja. Organisasi-organisasi sukarela dan derma atas dasar
keyakinan di zaman pertengahan—lembaga bagi orang miskin,
seminari, dan tempat-tempat penampungan (hospice)—di Eropa
digantikan oleh perluasan negara kesejahteraan selama pertengahan
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Berkembangnya negara
kesejahteraan tersebut memunculkan sekolah-sekolah yang didanai
secara publik, pusat kesehatan, dan jaringan keamanan dan
kesejahteraan untuk membantu pengangguran, lansia, orang-orang
papa. Karena dilucuti dari inti tujuan-tujuan sosial mereka,
Durkheim meramalkan bahwa peran spiritual dan moral dari
lembaga-lembaga keagamaan perlahan akan menghilang dalam
masyarakat industri, di luar ritus-ritus formal tradisional dari
kelahiran, pernikahan, dan kematian, dan ibadah hari-hari raya
tertentu.
Teori fungsionalisme evolusioner tersebut menjadi ortodoksi
umum dalam sosiologi agama selama dekade pasca-perang.
Jagodzinski dan Dobbelaere, misalnya, memberikan penjelasan
seperti itu untuk menerangkan penyusutan jemaah gereja di Eropa
Barat: “Semua bukti empiris dalam bab ini sesuai dengan asumsi
bahwa rasionalisasi fungsional terkait dengan diferensiasi fungsional,
detradisionalisasi, dan memastikan bahwa individualisasi mem -
punyai dampak kumulatif terhadap merosotnya keterlibatan di
gereja, terutama di kalangan generasi pasca-perang.”16 Jika tesis ini
benar, maka salah satu implikasinya adalah bahwa jemaah gereja
seharusnya akan merosot lebih jauh, dan paling cepat terjadi di
masyarakat-masyarakat makmur yang telah mengembangkan negara kesejahteraan yang sangat kuat, seperti di Swedia, Belanda, dan
Prancis—dan memang banyak dari bukti-bukti yang ada konsisten
dengan penjelasan ini.
Namun dalam dekade-dekade belakangan ini, semakin banyak

kritikus yang mengungkapkan keberatan mereka terhadap klaimklaim
inti dari versi fungsionalis perkembangan masyarakat.
Terkikisnya tujuan sosial gereja oleh diferensiasi fungsional tidak
niscaya berarti bahwa peran moral dan spiritual yang utama dari
institusi keagamaan berkurang atau hilang—malah, peran-peran itu
bisa jadi lebih penting. Teori fungsionalis, yang mendominasi
kepustakaan tentang perkembangan sosial selama 1950-an dan
1960-an, perlahan kurang diminati secara intelektual; gagasan
bahwa semua masyarakat mengalami kemajuan melalui suatu jalan
perkembangan sosio-ekonomi yang tunggal dan deterministik
menuju suatu titik-akhir yang sama—negara modern yang demo -
kratis dan sekular—semakin ditentang oleh perspektif multikultural
dalam antropologi, perbandingan sosiologi, dan perbandingan
politik, yang menegaskan bahwa komunitas, masyarakat, dan
negara mengalami bentuk-bentuk perubahan yang berbeda-beda.18
Para kritikus tersebut menyatakan bahwa ketika masyarakat ter -
modernisasikan, yang terjadi tidak niscaya hilangnya keyakinan atau
tujuan spiritual. Mereka berpendapat bahwa terdapat pola-pola
historis dan antar-wilayah yang lebih kompleks, di mana agama
popularitasnya naik dan turun pada periode-periode yang berbeda
dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda, dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu, seperti karisma para pemimpin spiritual
tertentu, dampak peristiwa-peristiwa tertentu, atau mobilisasi
gerakan-gerakan berbasis-keyakinan tertentu. Untuk mendukung
argumen ini, para pengamat tersebut menunjuk pada kebangkitan
kembali religiusitas yang tampak dalam keberhasilan partai-partai
Islam di Pakistan, popularitas Evangelisme di Amerika Latin,
pecahnya pertikaian etno-religius di Nigeria, dan konflik inter -
nasional di Afganistan dan Irak setelah peristiwa 9/11. Pada saat
yang bersamaan, di tempat lain keyakinan keagamaan mungkin
sangat terkikis, dan gereja mungkin mengalami krisis dukungan
massa, yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa tertentu dan
keadaan-keadaan lokal, seperti reaksi publik Amerika terhadap
skandal penyimpangan seksual di kalangan para pendeta Katolik
Roma, atau perpecahan yang begitu kuat dalam kepemimpinan
Gereja Anglikan internasional menyangkut isu homoseksualitas.
Oleh karena itu, Andrew Greeley menyatakan bahwa sekarang ini terdapat pola-pola religiusitas yang beragam, bahkan di kalangan
negara-negara Eropa yang makmur, dan tidak tampak suatu
konversi yang konsisten dan terus-menerus ke arah ateisme atau
agnostisisme, atau hilangnya keyakinan pada Tuhan.

Penjelasan sisi-permintaan dari sekularisasi yang diawali oleh
karya Weber dan Durkheim mengalami serangan intelektual besarbesaran
selama dekade terakhir. Setelah mengulas bukti-bukti
historis dari kehadiran para jemaah di gereja-gereja di Eropa,
Rodney Stark menyimpulkan bahwa sekularisasi merupakan suatu
mitos yang tersebar luas, yang didasarkan pada ramalan-ramalan
yang gagal dan polemik ideologis, dan tidak didukung oleh data
yang sistematis: “Buktinya jelas bahwa klaim-klaim tentang
kemerosotan besar dalam partisipasi keagamaan [di Eropa]
didasarkan sebagian pada persepsi yang terlalu berlebihan atas
keberagamaan masa lalu. Partisipasi mungkin sekarang ini sangat
rendah di banyak negara, tetapi itu bukan karena modernisasi; oleh
karena itu, tesis sekularisasi tidak relevan.Bagi Jeffrey Hadden,
asumsi-asumsi dalam sekularisasi lebih merupakan doktrin atau
dogma ketimbang suatu teori keagamaan yang sangat-teruji: “suatu
ideologi yang dicomot begitu saja, dan bukan suatu rangkaian
proposisi sistematis yang saling terkait.”22 Ia menyatakan bahwa
pengabaian—dan bukannya bukti yang memperkuat—yang mem -
buat klaim-klaim sekularisasi tetap bertahan untuk jangka waktu
yang lama. Gagasan bahwa agama akan merosot dan pada akhirnya
menghilang merupakan produk dari lingkungan sosial dan kultural
dari masanya, yang sesuai dengan model fungsional evolusioner dari
modernisasi. Munculnya gerakan-gerakan spiritual baru, dan
kenyataan bahwa agama tetap terkait dengan politik, menurut
Hadden, memperlihatkan bahwa sekularisasi tidak terjadi sebagai -
mana yang diramalkan. Ia menyatakan, mereka yang mengklaim
bahwa sekularisasi telah terjadi, telah melebih-lebihkan dan
meromantisasi kekuatan praktik-praktik keagamaan di Eropa di
masa lalu, dan serentak meremehkan kekuatan dan popularitas
gerakan-gerakan keagamaan di masa sekarang ini, yang di -
contohkan oleh kebangkitan kembali evangelisme di Amerika Latin
dan spiritualitas New Age di Eropa Barat. Kumpulan karya ke -
sarjanaan yang muncul selama dekade terakhir telah menghasilkan
suatu perdebatan sengit tentang vitalitas kehidupan keagamaan
sekarang ini, dan memunculkan berbagai pertanyaan penting
tentang kaitan-kaitan yang dianggap menghubungkan proses
modernisasi dengan sekularisasi.

Teori Pasar Keagamaan: Hilangnya Kompetisi


Teori sekularisasi tradisional sekarang ini ditentang secara luas,
namun tidak ada satu kerangka teoretis yang diterima umum untuk
menggantikannya. Aliran sisi-penawaran dari para teoretisi pilihan
rasional yang muncul pada awal 1990-an, meskipun tetap
kontroversial, memberikan alternatif yang paling populer. Memang,
Warner mengklaim bahwa aliran ini menggambarkan suatu
“paradigma baru”, karena model tersebut telah merangsang
berbagai studi selama dekade terakhir.23 Model pasar keagamaan
tersebut mengabaikan “permintaan” publik atas agama, yang
dianggap konstan, namun memfokuskan perhatian pada bagaimana
kondisi-kondisi kebebasan keagamaan—dan kerja institusi-institusi
keagamaan yang saling bersaing–secara aktif menghasilkan
“tawaran”-nya. Para pendukung utamanya antara lain adalah Roger
Finke, Rodney Stark, Lawrence R. Iannaccone, William Sims
Bainbridge, dan R. Stephen Warner.


Pandangan awal yang menonjol adalah bahwa pluralisme
mengikis keyakinan keagamaan. Reformasi Protestan menyebabkan
fragmentasi kekristenan Barat, di mana berbagai macam sekte dan
kelompok keagamaan menegaskan keyakinan-keyakinan dan
doktrin-doktrin alternatif. Bagi Durkheim, proses ini meruntuhkan
kekuasaan hegemonik dari satu keyakinan teologis tunggal yang
begitu mendominasi, menyemaikan benih-benih skeptisisme dan
keraguan.25 Dengan bersandar secara kuat pada analogi perusahaanperusahaan
yang berusaha merangkul konsumen dalam pasar
ekonomi, teori sisi-penawaran mengandaikan hal yang berlawanan.
Proposisi inti dalam pendekatan pasar keagamaan adalah gagasan
bahwa kompetisi yang kuat di antara kelompok-kelompok
keagamaan mempunyai efek positif pada keterlibatan keagamaan.
Penjelasan mengapa agama tumbuh subur di beberapa tempat,
sementara di tempat-tempat lain layu, bersandar pada energi dan
aktivitas para pemimpin dan organisasi keagamaan. Menurut teori
itu, semakin bersaing gereja-gereja, kelompok-kelompok keagama -
an, keyakinan-keyakinan dan sekte-sekte dalam sebuah komunitas
lokal, semakin berat usaha para pemimpin keagamaan yang saling
bersaing untuk menjaga jemaah mereka. Para pendukung teori ini
berpendapat bahwa vitalitas keyakinan-keyakinan dan praktikpraktik
keagamaan yang terus terjaga di Amerika Serikat dapat
dijelaskan dengan masuk akal semata-mata oleh keberagaman
oraganisasi-organisasi berbasis keyakinan, kompetisi pluralistik yang kuat di antara institusi-institusi keagamaan, kebebasan agama,
dan pemisahan konstitusional antara gereja dan negara. Kelompok-kelompok keagamaan utama yang lebih tua di Amerika,
seperti kalangan Katolik, Episkopal, dan Lutheran, disaingi oleh
gereja-gereja evangelis yang menuntut lebih banyak waktu dan
energi, namun juga memberikan pengalaman keagamaan yang lebih
meyentuh.

Sebaliknya, komunitas-komunitas di mana hanya ada satu
organisasi keagamaan yang mendominasi lewat regulasi dan subsidi
pemerintah, misalnya gereja-gereja yang resmi, merupakan kondisikondisi
pemikiran yang mendorong kependetaan yang berpuas-diri
dan jumlah jemaah yang merosot, melayukan kehidupan ke pendeta -
an dalam suatu cara yang sama sebagaimana industri-industri milik
negara, monopoli-monopoli perusahaan, dan kartel-kartel bisnis
dianggap menghasilkan ketidakefisienan, kekakuan struktural, dan
kurangnya inovasi dalam pasar ekonomi. Stark dan Finke
menyatakan bahwa Eropa Utara didominasi oleh “agama sosialis”,
di mana regulasi-regulasi negara memihak gereja-gereja resmi,
melalui subsidi fiskal atau berbagai pembatasan pada gereja-gereja
saingan. Menurut mereka, proses ini memperkuat monopoli
keagamaan, dan kependetaan yang malas dan apatetik, yang
menyebabkan tumbuhnya publik yang acuh tak acuh dan bangku
gereja yang setengah kosong seperti tampak di Skandinavia.28
Namun, setelah lebih dari satu dekade perdebatan dan studi
berlangsung, klaim sisi-penawaran bahwa pluralisme keagamaan
mendorong partisipasi keagamaan masih tetap diperdebatkan
(seperti yang didiskusikan secara lebih menyeluruh dalam Bab 4).
Para kritikus menyatakan bahwa sebagian dari bukti-bukti
komparatif tidak mendukung klaim-klaim teori itu. Sebagai contoh,
klaim ini tidak bisa menjelaskan jumlah jemaah yang terus bertahan
di banyak negara di Eropa Selatan, meskipun terdapat peran
monopolistik Gereja Katolik. Salah satu ukuran empiris yang
paling umum dari pluralisme keagamaan yang digunakan untuk
mendukung penjelasan ini kemudian ditemukan mengandung
kelemahan dan secara statistik cacat.30 Suatu tinjauan menyeluruh
atas kumpulan lebih dari dua lusin studi empiris yang diterbitkan
dalam kepustakaan akademis tentang sosiologi agama, yang
dilakukan oleh Chaves dan Gorski, diakhiri dengan kesimpulan
yang dengan tajam mengeritik teori tersebut:
"Klaim bahwa pluralisme keagamaan dan partisipasi keagamaan
secara umum dan secara positif berkaitan satu sama lain—inti
hipotesis empiris dari pendekatan pasar terhadap studi agama—
tidak mendapatkan dukungan, dan usaha-usaha untuk meragukan
bukti-bukti yang sebaliknya dengan dasar metodologis harus
ditolak. Hubungan positif antara pluralisme keagamaan dan
partisipasi keagamaan dapat ditemukan hanya dalam jumlah
konteks yang terbatas, sementara konsep-konsep itu sendiri kurang
mumpuni untuk diterjemahkan ke latar-latar yang non-modern."


Oleh karena itu, perdebatan kontemporer telah memunculkan di
benak kita begitu banyak keraguan terhadap versi tesis sekularisasi
Weberian dan Durkheimian tradisional. Namun alasan untuk
menerima teori pasar keagamaan, yang menjadi lawannya,
didasarkan lebih pada keyakinan ketimbang kenyataan. Penjelasan
sisi-penawaran tersebut belum mendapatkan penerimaan umum
dalam ilmu-ilmu sosial.


Tesis Sekularisasi Berdasarkan
Keamanan Eksistensial


Versi teori sekularisasi klasik tersebut jelas perlu diperbaiki; namun
menolaknya begitu saja akan merupakan suatu kesalahan, karena ia
benar dalam beberapa hal penting. Stark dan Finke menyimpulkan:
“Apa yang diperlukan bukanlah suatu teori sederhana tentang
keniscayaan merosotnya agama, namun suatu teori untuk
menjelaskan variasi.”32 Kami setuju. Teori kami tentang sekularisasi
yang didasarkan atas keamanan eksistensial bersandar pada dua
aksioma atau premis sederhana yang terbukti sangat kuat dalam
menjelaskan sebagian besar variasi dalam praktik keagamaan yang
ditemukan di seluruh dunia.

Aksioma Keamanan


Blok bangunan dasar pertama dari teori kami adalah asumsi bahwa
negara-negara kaya dan miskin di seluruh dunia sangat berbeda
dalam tingkat-tingkat pembangunan manusia yang berkelanjutan
dan ketidaksetaraan sosio-ekonomi mereka, dan dengan demikian
juga dalam kondisi-kondisi kehidupan dasar dari keamanan manusia.

Gagasan tentang
keamanan manusia telah muncul di tahun-tahun belakangan sebagai
suatu tujuan penting dari pembangunan internasional, meskipun
konsep tersebut kompleks dan terdapat berbagai macam definisi
tentangnya.Gagasan tentang
keamanan manusia telah muncul di tahun-tahun belakangan sebagai
suatu tujuan penting dari pembangunan internasional, meskipun
konsep tersebut kompleks dan terdapat berbagai macam definisi
tentangnya.Sederhananya, gagasan inti dari keamanan menunjuk
pada kebebasan atau keterhindaran dari berbagai risiko dan
bahaya. Pandangan tradisional berfokus pada penggunaan ke kuat -
an militer untuk menjamin integritas dan keamanan teritorial dari
negara-negara bangsa. Selama dekade terakhir, pandangan ini
diperbaiki ketika para analis mulai menyadari bahwa definisi ini
amat sangat sempit, di mana banyak risiko lain juga mempunyai
andil pada keamanan manusia, mulai dari kerusakan lingkungan
hingga berbagai malapetaka alam dan akibat ulah manusia seperti
banjir, gempa bumi, angin topan, dan musim kemarau, serta
ancaman epidemi penyakit, pelanggaran hak-hak asasi manusia,
krisis kemanusiaan, dan kemiskinan. Lingkup bahaya yang luas
tersebut berarti bahwa konsep keamanan manusia bisa menjadi
begitu luas dan mencakup banyak hal, sehingga ia bisa kehilangan
koherensi dan kegunaan praktisnya, serta menjadi sulit atau bahkan
mustahil untuk mengukurnya dengan satu ukuran gabungan.
Meskipun demikian, gagasan inti tentang keamanan manusia ter -
sebut, terlepas dari watak spesifik dari bahaya-bahaya itu,
merupakan sebuah gagasan yang diakui secara luas sebagai sesuatu
yang penting bagi manusia, dan kami menganggap tidak-adanya
keamanan manusia sebagai sesuatu yang amat sangat penting bagi
religiusitas.

Penduduk negara-negara miskin tetap sangat rentan terhadap
kematian dini—terutama karena kelaparan dan penyakit yang
terkait dengan kelaparan. Mereka juga menghadapi berbagai
malapetaka mendadak dari kemarau atau banjir, atau berbagai
keadaan darurat yang terkait dengan cuaca. Negara-negara miskin
mempunyai akses yang terbatas kepada kondisi-kondisi dasar
kehidupan, termasuk persediaan air bersih dan makanan yang
memadai, serta akses kepada pelayanan-pelayanan publik yang
efektif yang menyediakan perawatan kesehatan dasar, pengajaran,
dan pendidikan, dan penghasilan yang mencukupi. Negara-negara
ini juga sering kali menghadapi berbagai persoalan endemik seperti
polusi karena kerusakan lingkungan, ketidaksetaraan gender yang
begitu besar, dan konflik etnik yang telah lama ada. Kurangnya
kemampuan untuk mengatasi berbagai persoalan ini disebabkan
oleh korupsi dalam pemerintahan, sektor publik yang tidak efektif, dan ketidakstabilan politik. Negara-negara miskin sering kali
mempunyai pertahanan yang lemah terhadap invasi dari luar,
ancaman kudeta dalam negeri dan, dalam kasus-kasus ekstrem,
kegagalan negara.

Ketika ekonomi-ekonomi agraris yang lebih miskin berkembang
menjadi masyarakat-masyarakat industri menengah, dan kemudian
berkembang lebih jauh menjadi masyarakat pasca-industri yang
makmur, proses ini menghamparkan berbagai jalan yang secara
umum mirip, yang biasanya memperbaiki kondisi-kondisi dasar
keamanan manusia. Proses industrialisasi dan pembangunan
manusia itu membantu mengangkat negara-negara berkembang
untuk keluar dari kemiskinan akut, mengurangi ketidakpastian dan
berbagai risiko kehidupan sehari-hari yang dihadapi orang-orang,
sebagaimana didokumentasikan dalam kepustakaan luas tentang
pembangunan yang diterbitkan oleh Program Pembangunan PBB
(United National Development Program) dan Bank Dunia (World
Bank).35 Perpindahan dari pertanian yang dimaksudkan untuk hanya
bertahan hidup di pedesaan (subsistence rural farming) ke manu -
faktur dengan penghasilan menengah tersebut umumnya membantu
mengangkat masyarakat yang paling rentan keluar dari kemiskinan
dan biasanya memperbaiki standar kehidupan, mendorong urbani -
sasi, memperbaiki gizi, sanitasi, dan akses ke air bersih. Masyarakatmasyarakat
yang lebih maju biasanya juga mempunyai rumah sakit
yang lebih baik, para ahli kesehatan yang terdidik, akses terhadap
obat-obatan dan pengobatan, dan layanan-layanan publik untuk
mengurangi kematian bayi dan anak-anak, program imunisasi,
perencanaan keluarga, dan pencegahan dan pengobatan wabah
HIV/AIDS. Sekolahan, dan keahlian-keahlian membaca dan ber -
hitung yang sangat penting, menjadi lebih tersedia bagi laki-laki dan
perempuan. Perkembangan ini, ditambah dengan penyebaran
komunikasi massa, perlahan memunculkan suatu publik yang lebih
terdidik dan sadar politik. Perluasan sektor-sektor pelayanan
profesional dan manajerial memunculkan akses bagi para pekerja
kelas menengah kepada asuransi kesehatan, pensiun, dan aset-aset
material yang lebih besar. Sementara itu, berkembangnya jaringan
jaminan kesejahteraan, dan pemberian pelayanan pemerintah yang
lebih efektif ketika masyarakat berkembang, melindungi kalangan
yang kurang mampu dari berbagai bahaya keadaan sakit dan usia
tua, kemiskinan dan kemelaratan. Karena semua alasan ini, tahap
pertama dari modernisasi masyarakat tersebut mengubah kondisikondisi
kehidupan bagi banyak orang, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap berbagai bahaya yang tak terduga.

Sekalipun merupakan suatu syarat yang diperlukan, pem -
bangunan ekonomi saja tidak memadai untuk menjamin keamanan
manusia. Di banyak negara berkembang, kantong-kantong kemiskinan
yang akut sering kali tetap ada di sektor-sektor yang paling
kurang sejahtera. Di Meksiko, Kolumbia, atau Brazil, misalnya,
kemiskinan akut terdapat di kalangan penduduk di wilayah kumuh
perkotaan, pinggiran kota, dan desa-desa pedalaman yang terisolasi,
berdampingan dengan kalangan borjuis yang semakin berkembang.
Kondisi-kondisi ketidaksetaraan sosio-ekonomi amat sangat penting
bagi kondisi-kondisi keamanan manusia yang tersebar luas; jika
tidak, maka pertumbuhan hanya memperkaya elite yang telah
makmur dan kelas yang berkuasa, suatu pola yang umum ditemukan
di banyak negara yang kaya mineral dan minyak seperti Nigeria,
Venezuela, dan Saudi Arabia.

Selain itu, ada satu perbedaan penting yang harus ditarik antara
penjelasan kami dan penjelasan beberapa versi teori modernisasi
yang lebih sederhana dan mekanis. Meskipun kami percaya bahwa
pembangunan manusia dan kondisi-kondisi kesetaraan ekonomi
biasanya menghasilkan tingkat-tingkat keamanan yang semakin
baik, generalisasi ini harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat
probabilistik (kemungkinan), bukan deterministik (pasti); faktorfaktor
yang terkait dengan situasi tertentu memustahilkan kami
untuk meramalkan secara tepat apa yang akan terjadi dalam suatu
masyarakat tertentu. Sementara kami memang yakin bahwa publik
secara umum memperoleh kondisi-kondisi keamanan yang lebih
baik selama berlangsungnya proses pembangunan modern tersebut,
namun proses ini sendiri selalu dapat terhenti untuk sementara atau
dibalikkan secara tiba-tiba, bahkan di negara-negara kaya, oleh
peristiwa-peristiwa dramatik tertentu seperti bencana-bencana alam
besar, perang, atau resesi-resesi besar. Bahkan negara-negara pascaindustri
yang paling makmur pun bisa tiba-tiba mengalami muncul -
nya kembali ketidakamanan yang tersebar luas. Sebagai contoh,
kecemasan akan terorisme muncul secara kuat di Amerika Serikat,
khususnya bagi para penduduk di Pantai Timur, segera setelah
peristiwa 11 September 2001.36 Contoh lainnya adalah pengalaman
yang terjadi belakangan ini di Argentina, sebuah negeri yang kaya
sumberdaya alam dan agrikultural, dengan kekuatan kerja yang
terdidik dengan baik, sebuah sistem politik yang demokratis, dan
salah satu perekonomian terbesar dan terkuat di Amerika Selatan.
Namun pertumbuhan ekonomi di negara itu mengalami suatu krisis mendadak; sebuah resesi besar merupakan awal dari kehancuran
ekonomi pada 2001, yang menjadikan lebih dari setengah
penduduk negeri itu hidup dalam kemiskinan. Negeri itu berusaha
mengatasi catatan kegagalan hutang, sistem perbankan yang hancur,
sinisme yang begitu kuat terhadap politik, dan devaluasi mata uang.
Orang-orang yang sebelumnya merupakan kalangan profesional
kelas menengah yang kehilangan tabungan dan pekerjaan mereka—
para guru, karyawan kantor, dan pegawai negeri—tiba-tiba menjadi
tergantung pada dapur sop, barter, pengumpulan sampah untuk
memberi makan anak-anak mereka. Melalui modernisasi, kami
yakin bahwa tingkat keamanan yang mulai naik menjadi makin
mungkin terjadi. Namun perubahan-perubahan ini sifatnya tidak
mekanis atau deterministik; peristiwa-peristiwa dan pemimpinpemimpin
tertentu dapat merintangi atau mendorong jalannya
pembangunan manusia dalam sebuah masyarakat.

Aksioma Tradisi-tradisi Budaya


Blok bangunan kedua bagi teori kami mengandaikan bahwa
pandangan-pandangan dunia yang khas yang awalnya terkait
dengan tradisi keagamaan telah membentuk budaya masing-masing
negara dalam suatu cara yang terus berkelanjutan; sekarang ini,
nilai-nilai khas ini diteruskan ke warganegara, sekalipun mereka
tidak pernah menjejakkan kaki mereka di gereja, kuil, atau masjid.
Dengan demikian, meskipun hanya sekitar 5% dari publik Swedia
mengunjungi gereja setiap minggu, publik Swedia secara ke seluruh -
an mengejawantahkan suatu sistem nilai Protestan yang khas yang
mereka pegang bersama dengan warganegara-warganegara dari
masyarakat-masyarakat lain yang secara historis Protestan seperti
Norwegia, Denmark, Islandia, Findlandia, Jerman, dan Belanda.
Sekarang ini, nilai-nilai ini tidak disebarluaskan terutama oleh
gereja, namun oleh sistem pendidikan dan media massa. Akibatnya,
meskipun sistem-sistem nilai negara-negara yang secara historis
Protestan itu terus berbeda secara menyolok dari sistem-sistem nilai
negara-negara yang secara historis Katolik, sistem-sistem nilai dari
kalangan Katolik Belanda jauh lebih mirip dengan sistem nilai
kalangan Protestan Belanda dibanding dengan sistem-sistem nilai
kalangan Katolik Prancis, Italia, atau Spanyol. Bahkan dalam
masyarakat-masyarakat yang sangat sekular, warisan historis dari
agama-agama tertentu terus mempengaruhi pandangan dunia dan
mendefinisikan wilayah-wilayah budaya. Ini seperti yang dikemuka kan oleh seorang kolega dari Estonia, saat menjelaskan perbedaan
antara pandangan dunia orang Estonia dan Rusia, “Kami memang
semua atheis; namun saya adalah atheis Lutheran, dan mereka
adalah atheis Ortodoks.” Dengan demikian, kami menganggap
bahwa nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat Katolik dan
Protestan, misalnya orientasi mereka terhadap etika kerja,
liberalisasi seks, dan demokrasi, akan secara sistematis berbeda-beda
berdasarkan tradisi historis masa lalu, dan juga berbeda-beda dalam
masyarakat Hindu, Budha, Konfusian, Ortodoks, dan Muslim. Hal
ini juga dapat dilihat bahkan di antara orang-orang yang hidup
dalam masyarakat-masyarakat itu namun tidak memeluk keyakinankeyakinan
di atas, atau tidak merasa bahwa mereka adalah bagian
dari suatu gereja, kuil, atau masjid.

Beberapa Hipotesis


Jika kita bisa menerima dua aksioma dasar di atas sebagai hal yang
masuk akal dan relatif tidak kontroversial, maka keduanya
mengandaikan serangkaian proposisi atau hipotesis yang diuji dalam
keseluruhan buku ini untuk melihat apakah keduanya itu tahan uji
jika dihadapkan kepada bukti-bukti empiris.

1. Hipotesis Nilai-nilai Keagamaan


Para teoretisi pasar keagamaan mengasumsikan bahwa permintaan
itu konstan, sehingga berbagai variasi dalam religiusitas pasti
disebabkan oleh penawaran. Kami bertolak dari premis-premis yang
sangat berbeda karena kami percaya bahwa pengalaman hidup
dalam kondisi-kondisi keamanan manusia selama tahun-tahun
pertumbuhan seorang manusia akan membentuk permintaan akan
agama, dan dengan demikian juga prioritas yang diberikan orangorang
pada nilai-nilai keagamaan. Secara khusus, kami meng hipo -
tesiskan bahwa, jika segala sesuatu dianggap setara, pengalaman
tumbuh dalam masyarakat-masyarakat yang kurang aman akan
memperkuat pentingnya nilai-nilai keagamaan, dan sebaliknya,
pengalaman akan kondisi-kondisi yang lebih aman akan mem per -
lemah pentingnya nilai-nilai tersebut.

Teori-teori modernisasi mengandaikan bahwa perubahanperubahan
ekonomi dan politik berjalan bersama dengan
perkembangan-perkembangan budaya dalam suatu cara yang
koheren dan konsisten. Kami akan memperlihatkan nanti bahwa proses perkembangan manusia tersebut mempunyai berbagai
konsekuensi yang signifikan bagi religiusitas; ketika masyarakat
mengalami transisi dari ekonomi agraris ke industri, dan kemudian
berkembang menjadi masyarakat pasca-industri, kondisi-kondisi
keamanan yang semakin kuat yang biasanya menyertai proses ini
cenderung mengurangi pentingnya nilai-nilai keagamaan. Kami
yakin, alasan utamanya adalah bahwa kebutuhan akan ke tenteram -
an religius menjadi kurang kuat dalam kondisi-kondisi keamanan
yang lebih besar. Efek-efek ini beroperasi baik pada tingkat
masyarakat (sosio-tropik) maupun tingkat personal (ego-tropik),
meskipun kami menganggap bahwa yang pertama tersebut lebih
penting. Perlindungan, kontrol, harapan hidup, dan kesehatan yang
lebih besar yang ditemukan di negara-negara pasca-industri berarti
bahwa lebih sedikit orang dalam masyarakat ini yang menganggap
nilai-nilai spiritual, keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik
tradisional sebagai sesuatu yang penting bagi kehidupan mereka,
atau bagi kehidupan komunitas mereka. Hal ini tidak mengandai -
kan bahwa semua bentuk agama niscaya akan menghilang saat
masyarakat berkembang; elemen-elemen sisa dan simbolik dari
agama sering kali tetap bertahan—seperti kesetiaan formal terhadap
identitas-identitias religius—bahkan ketika makna substantif
mereka telah luntur. Namun kami menganggap bahwa orang-orang
yang hidup dalam masyarakat-masyarakat industri maju sering kali
akan semakin tidak acuh terhadap para pemimpin dan institusi
keagamaan tradisional, dan menjadi kurang berminat untuk terlibat
dalam aktivitas-aktivitas spiritual. Bertentangan dengan aliran pasar
keagamaan, kami mengasumsikan bahwa “permintaan” akan
spiritualitas sama sekali tidak konstan; sebaliknya, berbagai variasi
yang mencolok jelas terlihat, yang disebabkan oleh pengalaman
kondisi-kondisi kehidupan dasar yang ditemukan dalam masya -
rakat-masyarakat yang kaya dan miskin.

Hampir semua budaya keagamaan besar di dunia memberikan
penegasan bahwa, sekalipun seorang individu tidak dapat me -
mahami atau meramalkan apa yang terjadi di masa depan, sebuah
kekuatan yang lebih tinggi akan menjamin bahwa segala sesuatu
akan berjalan baik. Baik agama maupun ideologi-ideologi sekular
meyakinkan orang-orang bahwa alam semesta mengikuti suatu
rencana, yang menjamin bahwa jika anda berlaku dengan benar dan
sesuai aturan, maka segala sesuatu akan baik adanya, di dunia ini
atau dunia berikutnya. Keyakinan ini mengurangi ketegangan,
memungkinkan orang-orang untuk membuang kecemasan dan memfokuskan diri pada pemecahan persoalan-persoalan mereka
sekarang ini. Tanpa sistem keyakinan tersebut, ketegangan yang
ekstrem cenderung menimbulkan reaksi penarikan-diri. Dalam
kondisi ketidakamanan, orang-orang mempunyai kebutuhan yang
sangat kuat untuk melihat otoritas sebagai sesuatu yang kuat dan
penuh kebajikan—bahkan di hadapan bukti-bukti yang menunjuk -
kan sebaliknya.

Individu-individu yang mengalami ketegangan mempunyai
kebutuhan akan aturan-aturan yang ketat dan dapat diprediksikan.
Mereka perlu merasa yakin atas apa yang akan terjadi karena
mereka berada dalam bahaya—batas kesalahan (margin for error)
mereka sangat kecil dan mereka menginginkan prediktabilitas yang
maksimum. Sebaliknya, orang-orang yang dibesarkan dalam kondisi
keamanan relatif dapat menoleransi lebih banyak ambiguitas dan
kurang mempunyai kebutuhan akan aturan-aturan yang mutlak dan
pasti yang disediakan oleh hukum-hukum keagamaan. Orang-orang
dengan tingkat keamanan eksistensial yang relatif tinggi lebih bisa
menerima penyimpangan-penyimpangan dari pola-pola umum
dibanding orang-orang yang merasa cemas akan kebutuhankebutuhan
eksistensial dasar mereka. Dalam masyarakat-masyarakat
industri yang secara ekonomi aman, dengan suatu jaringan
keamanan dasar yang mapan yang memberi perlindungan terhadap
risiko-risiko kemiskinan absolut dan suatu distribusi yang relatif
egalitarian dari pendapatan-pendapatan rumah tangga, suatu
perasaan aman yang semakin kuat mengikis kebutuhan akan aturanaturan
absolut, yang mempunyai andil bagi merosotnya normanorma
keagamaan tradisional.

Dalam masyarakat-masyarakat agraris, manusia tetap berada
dalam kekuasaan kekuatan-kekuatan alam yang tak bisa di kendali -
kan dan tak terpahami. Karena sebab-sebab mereka kurang di -
pahami, orang-orang cenderung melekatkan apa pun yang terjadi
pada roh-roh atau dewa-dewa antropomorfik. Mayoritas penduduk
mendapatkan nafkah hidup mereka dari pertanian, dan umumnya
bergantung pada hal-hal yang berasal dari langit, seperti matahari
dan hujan. Para petani berdoa memohon cuaca yang baik, per -
lindungan dari penyakit atau dari wabah hama serangga.

Industrialisasi memunculkan ketidaksesuaian kognitif antara
sistem-sistem norma tradisional dan dunia yang diketahui sebagian
besar orang dari pengalaman langsung. Simbol-simbol dan pandang -
an dunia dari agama-agama mapan tidak lagi begitu meyakinkan
atau menarik sebagaimana mereka dalam latar sebelumnya. Dalam masyarakat industri, produksi berlangsung dalam ruang-ruang
indoor tersendiri, dalam suatu lingkungan buatan manusia. Para
pekerja tidak secara pasif menunggu matahari terbit dan musim
berubah. Ketika gelap, orang-orang menyalakan lampu; ketika
dingin, orang-orang menyalakan pemanas. Para pekerja pabrik tidak
berdoa memohon hasil yang baik—produksi manufaktur ber -
gantung pada mesin-mesin yang diciptakan oleh kecerdasan
manusia. Dengan penemuan kuman dan antibiotik, penyakit pun
tidak lagi dilihat sebagai suatu wabah ilahiah; ia menjadi suatu
persoalan yang bisa dikendalikan oleh manusia.

Berbagai perubahan besar dalam pengalaman sehari-hari
manusia tersebut menyebabkan berbagai perubahan dalam kosmo -
logi yang umum berlaku. Dalam masyarakat industri, di mana
pabrik adalah pusat produksi, suatu pandangan mekanistik akan
dunia tampak sebagai sesuatu yang alamiah. Pada awalnya, hal ini
memunculkan konsep tentang Tuhan sebagai seorang pembuat jam
besar yang telah membangun dunia dan kemudian membiarkannya
berjalan sendiri. Namun ketika kontrol manusia akan lingkungan
semakin besar, peran yang diberikan kepada Tuhan menjadi kecil.
Ideologi-ideologi materialistik muncul menawarkan interpretasi
sekular atas sejarah dan utopia-utopia sekular yang dicapai melalui
keahlian teknik manusia. Ketika orang-orang masuk ke dalam
masyarakat pengetahuan, dunia mekanis dari pabrik menjadi kurang
tersebar luas. Pengalaman hidup orang lebih berkaitan dengan ide
dan gagasan ketimbang dengan hal-hal yang bersifat materi. Dalam
masyarakat pengetahuan tersebut, produktivitas lebih bergantung
pada informasi, inovasi, dan imajinasi, dan kurang bergantung pada
hal-hal yang bersifat material. Namun dalam kondisi-kondisi
ketidakamanan eksistensial yang telah mendominasi kehidupan
kebanyakan manusia dalam sebagian besar sejarah, persoalanpersoalan
teologis besar tersebut terkait dengan jumlah orang yang
relatif terbatas; mayoritas populasi lebih memikirkan kebutuhan
akan jaminan di hadapan suatu dunia di mana kemungkinan untuk
bertahan hidup tidak pasti, dan ini merupakan faktor dominan yang
menjelaskan cengkeraman agama tradisional pada publik luas.

2. Hipotesis Budaya Keagamaan


Tradisi budaya keagamaan yang dominan dalam suatu masyarakat,
seperti warisan Protestantisme dan Katolisisme di Eropa Barat,
dianggap meninggalkan suatu jejak yang khas pada keyakinan-keyakinan moral dan sikap-sikap sosial sekarang ini yang tersebar
luas di kalangan publik negara-negara ini. Meskipun demikian, jika
sekularisasi terjadi di negeri-negeri pasca-industri, seperti yang kami
perkirakan, maka pengaruh tradisi-tradisi keagamaan tersebut dapat
dianggap paling terkikis di masyarakat-masyarakat ini.

Budaya keagamaan yang dominan di sini dipahami sebagai
sesuatu yang bergantung, yang beradaptasi dan berkembang sebagai
tanggapan terhadap berbagai perkembangan di dunia kontemporer,
dan meskipun demikian secara kuat mencerminkan warisan dari
abad-abad lampau. Keyakinan-keyakinan utama dunia meng -
ungkapkan ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin yang berbeda
menyangkut berbagai nilai moral dan keyakinan normatif, seperti
yang berkenaan dengan peran perempuan dan laki-laki, kesucian
hidup, dan pentingnya pernikahan dan keluarga. Untuk memfokus -
kan analisis, kami mengkaji dampak budaya keagamaan yang
dominan tersebut pada masyarakat-masyarakat sekarang ini dalam
konteks teori Max Weber tentang etika Protestan dan munculnya
kapitalisme dan juga klaim-klaim yang lebih baru tentang
pentingnya budaya keagamaan Barat dan Muslim yang dikemuka -
kan oleh teori Samuel Huntington tentang suatu “benturan
peradaban”.


3. Hipotesis Partisipasi Keagamaan

Kami menganggap bahwa merosotnya arti penting nilai-nilai
keagamaan di negara-negara pasca-industri nantinya mengikis
partisipasi reguler dalam praktik-praktik keagamaan, yang diper -
lihatkan oleh kehadiran di layanan-layanan ibadah dan keterlibatan
dalam ibadah atau meditasi reguler.
Tiap-tiap agama besar mendefinisikan praktik-praktiknya yang
penting dan khas dalam ritual, upacara dan ibadah spiritual, yang
sering kali dikaitkan dengan perubahan-perubahan kehidupan
seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian, serta perayaan harihari
raya tertentu, dan terdapat berbagai macam variasi dalam
masing-masing sekte, kelompok keagamaan, dan komunitas
keagamaan. Praktik keagamaan Kristen dicontohkan oleh kehadiran
rutin di gereja pada hari Minggu dan hari-hari raya tertentu, serta
oleh peran ibadah, derma, pentingnya komuni, dan ritual-ritual
pembaptisan, pengesahan, dan pernikahan. Namun dalam daftar
yang umum ini, kalangan Anglikan, Metodis, dan Baptis masingmasing
menegaskan ritual-ritual khusus mereka sendiri. Di lain pihak, ritual dan upacara meditasi sangat penting bagi Budhisme,
serta menjalankan perayaan, pemberkatan dan inisiasi, dan peran
komunitas monastik. Bagi kaum Muslim, Al-Quran merinci lima
Rukun Islam, yakni mengucapkan syahadat di depan umum, men -
dirikan salat setiap hari, zakat, puasa ramadhan, dan menunaikan
ibadah Haji. Bentuk-bentuk spiritualitas alternatif dari New Age
mencakup aktivitas-aktivitas yang bahkan lebih luas lagi, antara lain
cenayang, pagan, metafisik, pertumbuhan personal, dan pemeli -
haraan kesehatan holistik, dengan praktik-praktik yang dicontoh -
kan oleh yoga, meditasi, terapi aroma, penyaluran, divinasi, dan
astrologi. Dalam studi yang terbatas ini, kami tidak mungkin mem -
bandingkan semua bentuk perilaku keagamaan yang beragam yang
ditemukan dalam masing-masing agama besar dunia tersebut,
namun, seperti yang dibahas dalam bab berikut, kami bisa meng -
analisis aspek-aspek yang paling umum dari praktik-praktik ke -
agamaan tersebut, yang disimbolkan oleh kehadiran pada layananlayanan
ibadah dan keterlibatan reguler dalam ibadah atau meditasi.
Kami memprediksikan bahwa kemerosotan terbesar dalam
partisipasi keagamaan akan terjadi dalam masyarakat-masyarakat
yang makmur dan aman, di mana arti penting agama paling terkikis.
Sebaliknya, dalam masyarakat-masyarakat agraris miskin, di mana
nilai-nilai keagamaan tetap merupakan bagian penting dari
kehidupan sehari-hari orang-orang, kami juga menganggap bahwa
orang-orang tersebut akan sangat aktif dalam pemujaan dan ibadah.


4. Hipotesis Keterlibatan Kewargaan (Civic Engagement)

Kemudian, terdapat alasan-alasan yang baik untuk percaya bahwa
partisipasi keagamaan reguler, khususnya tindakan-tindakan
kolektif pada layanan-layanan ibadah, mungkin akan mendorong
keterlibatan politik dan sosial dan juga dukungan pemilih bagi
partai-partai keagamaan.

Teori-teori modal sosial mengklaim bahwa, di Amerika Serikat,
kehadiran di gereja secara reguler mendorong keanggotaan dalam
organisasi-organisasi yang berbasis keyakinan dan keikutsertaan
dalam kelompok-kelompok komunitas yang lebih luas dalam
masyarakat kewargaan. Gereja-gereja Protestan utama di Amerika
Serikat telah lama dianggap memainkan peran penting dalam ke -
hidupan komunitas-komunitas lokal mereka dengan menyediakan
tempat bagi orang-orang untuk berkumpul, mendorong jaringan sosial pertemanan dan rukun tetangga yang bersifat informal,
membentuk ketrampilan kepemimpinan, memberi informasi
tentang masalah-masalah publik, mengumpulkan orang-orang
dengan latar belakang sosial dan etnik yang beragam, dan
mendorong keterlibatan aktif dalam kelompok-kelompok asosiasi
yang berhubungan dengan pendidikan, pengembangan pemuda, dan
layanan-layanan kewargaan Peran gereja-gereja di Amerika Serikat
tersebut memunculkan beberapa pertanyaan penting: secara khusus,
apakah institusi-institusi keagamaan di negara-negara lain mem -
punyai fungsi yang mirip, yakni mendorong jaringan sosial,
aktivisme kelompok, dan keterlibatan warga? Dan jika demikian,
apakah sekularisasi menyebabkan pengikisan modal sosial? Teoriteori
klasik tentang perilaku pemilih juga telah lama mengklaim
bahwa di Eropa Barat perpecahan elektoral antara kalangan
Protestan dan Katolik, yang diperkuat oleh hubungan-hubungan
organisasi antara Gereja Katolik dan partai Demokrat Kristen,
mendorong orang-orang religius untuk memberikan suara kepada
partai-partai kanan. Sekali lagi, jika partisipasi dan nilai-nilai
keagamaan telah terkikis dalam masyarakat-masyarakat pascaindustri,
seperti yang kami kemukakan, maka kami juga berharap
untuk melihat suatu proses perpecahan keagamaan, di mana
identitas-identitas kelompok keagamaan memainkan peran yang
kurang penting dalam perilaku pemilih. Sebaliknya, dalam
masyarakat-masyarakat berkembang, kami memprediksikan bahwa
agama akan terus memainkan peran penting dalam politik.


5. Hipotesis Demografis

Namun, sekalipun rangkaian hipotesis di atas mungkin membawa
pada asumsi bahwa sekularisasi tersebar luas di seluruh dunia,
dalam kenyataannya keadaannya jauh lebih kompleks. Kami
menemukan bahwa kemajuan manusia dan kondisi-kondisi
keamanan eksistensial yang semakin baik mengikis pentingnya nilainilai
keagamaan, dan dengan demikian juga mengurangi angkaangka
pertumbuhan penduduk dalam masyarakat-masyarakat
pasca-industri. Oleh karena itu, kami berharap menemukan bahwa
masyarakat-masyarakat kaya menjadi lebih sekular dalam nilai-nilai
mereka, namun pada saat bersamaan mereka juga me nurun dari segi
jumlah populasi. Sebaliknya, kami berharap bahwa negara-negara
miskin akan tetap sangat religius dalam nilai-nilai mereka, dan juga
akan menunjukkan angka kesuburan yang jauh lebih tinggi dan penduduk yang semakin bertambah. Salah satu perintah paling
penting dari hampir semua agama tradisional adalah memperkuat
keluarga, mendorong orang untuk mempunyai anak, mendorong
perempuan untuk tinggal di rumah dan membesarkan anak, dan
melarang aborsi, perceraian, atau segala sesuatu yang menghalangi
angka reproduksi yang tinggi. Sebagai hasil dari dua kecenderungan
yang saling terkait ini, negara-negara kaya menjadi lebih sekular,
namun dunia secara keseluruhan menjadi lebih religius.

Kebudayaan telah lama didefinisikan sebagai strategi-strategi
untuk bertahan hidup bagi sebuah masyarakat, dan seseorang dapat
melihat hal ini sebagai suatu persaingan antara dua strategi bertahan
hidup yang pada dasarnya berbeda. (1) Masyarakat-masyarakat
yang kaya dan sekular menghasilkan lebih sedikit orang, namun
dengan investasi yang relatif tinggi pada tiap-tiap individu, yang
menghasilkan masyarakat pengetahuan dengan tingkat pendidikan
yang tinggi, harapan hidup yang panjang, dan tingkat per ekonomi -
an dan teknologi yang maju. Hal ini juga menghasilkan potensi
militer dan keamanan nasional yang sangat maju. Namun karena
keluarga-keluarga menempatkan investasi yang penting pada sedikit
keturunan, masyarakat-masyarakat ini memberi penilaian yang
relatif tinggi bagi tiap-tiap individu dan memperlihatkan kemauan
yang relatif rendah untuk membahayakan hidup dalam perang. Di
sisi lain, (2) masyarakat-masyarakat tradisional yang lebih miskin
menghasilkan jumlah anak yang besar, dan berinvestasi jauh lebih
sedikit pada tiap-tiap individu. Anak laki-laki dinilai lebih tinggi
dibanding anak-anak perempuan, namun jika seseorang mempunyai
beberapa anak laki-laki, kehilangan satu atau dua anak adalah tragis
namun bukan malapetaka besar. Angka kematian bayi dan angka
kematian pada umumnya cukup tinggi, sehingga orang-orang secara
implisit tidak berharap bahwa semua anak mereka bertahan hidup.

Strategi modern menekankan investasi yang tinggi pada relatif
sedikit individu, dengan investasi yang sama diberikan kepada baik
anak laki-laki maupun anak perempuan, dan suatu investasi besar
modal manusia dalam suatu kekuatan kerja yang lebih sedikit
namun sangat terlatih di mana perempuan diperlakukan sepenuh -
nya sebagaimana laki-laki. Sebaliknya, strategi tradisional secara
sempit membatasi kesempatan perempuan untuk mendapatkan
pendidikan, dan hanya menyisakan sedikit pilihan bagi mereka
kecuali untuk menjadi ibu rumah tangga dan keluarga, dengan lebih
sedikit investasi dalam tiap-tiap individu.Dalam strategi ini,
perempuan yang berbakat tidak mendapatkan pendidikan dan tidak diperbolehkan mempunyai karir di luar rumah, yang berarti bahwa
potensi kontribusi mereka pada masyarakat di luar rumah menjadi
sia-sia. Strategi ini juga mempunyai biaya tak langsung: hal ini
berarti bahwa para ibu yang tak terdidik membesarkan anak-anak,
sehingga remaja laki-laki dan perempuan kurang menerima
rangsangan intelektual dalam tahun-tahun awal mereka yang sangat
krusial. Di sisi lain, strategi ini menghasilkan jumlah anak-anak yang
jauh lebih besar.

Tidak jelas strategi mana yang lebih efektif. Strategi modern
menghasilkan standar hidup yang jauh lebih tinggi, harapan hidup
yang lebih tinggi, dan kemakmuran subyektif yang lebih tinggi, dan
negara-negara modern mempunyai kekuatan teknologi dan militer
yang lebih besar. Namun sejauh hanya jumlah yang dilihat,
masyarakat-masyarakat tradisional jelas lebih unggul: mereka
menjadi bagian yang semakin besar dari penduduk dunia. Sebagai
akibatnya, kami ingin menemukan—dan tentu saja memperlihat -
kan—berbagai kontras besar antara angka kesuburan masyarakat
tradisional dan modern. Sekarang ini, hampir semua masyarakat
industri maju mempunyai angka kesuburan jauh di bawah tingkat
penggantian penduduk—dan sebagian dari masyarakat-masyarakat
tersebut menghasilkan hanya sekitar setengah dari jumlah anak yang
diperlukan untuk menggantikan orang dewasa. Sebaliknya, masya -
rakat-masyarakat yang lebih miskin mempunyai angka kelahiran jauh
di atas tingkat penggantian penduduk, dan banyak masyarakat yang
menghasilkan jumlah anak dua atau tiga kali lebih banyak dari yang
diperlukan untuk menggantikan orang dewasa. Efek nyatanya adalah
bahwa penduduk yang religius berkembang cepat, sementara jumlah
penduduk yang sekular merosot, terlepas dari kenyataan bahwa
proses sekularisasi terus-menerus maju di negara-negara kaya.


6. Hipotesis Pasar Keagamaan

Namun kami tidak menyandarkan argumen kami hanya pada mem -
buktikan rangkaian proposisi tersebut. Untuk mempertimbangkan
proposisi inti dari perspektif pasar keagamaan alternatif di atas,
kami juga menguji bukti-bukti empiris bagi asumsi-asumsi yang
menjadi inti dari teori tandingan ini. Teori pasar keagamaan meng -
anggap bahwa partisipasi keagamaan akan dipengaruhi terutama
oleh penawaran agama: pluralisme keagamaan yang lebih besar dan
juga kebebasan keagamaan yang lebih besar akan meningkatkan
partisipasi keagamaan.

Untuk mengkaji bukti-bukti bagi proposisi-proposisi ini, dalam
bab-bab berikut kami membandingkan dampak pada partisipasi
keagamaan (frekuensi menghadiri layanan ibadah) dari baik
pluralisme keagamaan (dengan menghitung Indeks Herfindahl yang
standar) maupun Indeks Kebebasan Keagamaan 20-poin yang baru.
Kami memperlihatkan bahwa pluralisme tidak mempunyai hubung -
an positif dengan partisipasi, dalam masyarakat-masyarakat pascaindustri
atau dalam perspektif seluruh dunia. Teori tersebut sesuai
dengan kasus Amerika, namun persoalannya adalah bahwa teori itu
gagal bekerja di tempat lain. Regulasi negara memberikan suatu
penjelasan yang lebih masuk akal dari pola-pola kehadiran di gereja
dalam masyarakat-masyarakat yang makmur, namun bahkan di sini
hubungan tersebut sifatnya lemah dan korelasi tersebut mungkin
tidak sahih. Di Eropa pasca-Komunis, pluralisme keagamaan dan
kebebasan keagamaan berhubungan negatif dengan partisipasi.
Secara keseluruhan kami menyimpulkan bahwa tingkat pluralisme
keagamaan dalam sebuah masyarakat jauh kurang penting di -
banding pengalaman orang-orang dalam kaitannya dengan apakah
eksistensi hidup dilihat sebagai aman atau tidak aman.


Kesimpulan

Tiga kesimpulan penting muncul dari studi ini. Pertama, kami me -
nyimpulkan bahwa karena tingkat keamanan manusia yang semakin
tinggi, publik dari hampir semua masyarakat industri maju bergerak
ke arah orientasi yang lebih sekular. Kami memperlihatkan bahwa
“modernisasi” (proses industrialisasi, urbanisasi, dan tingkat pen -
didik an dan kekayaan yang meningkat) sangat memperlemah
pengaruh institusi keagamaan dalam masyarakat-masyarakat mak -
mur, mengakibatkan angka kehadiran dalam ibadah keagamaan lebih
rendah, dan membuat agama secara subyektif kurang penting dalam
kehidupan orang-orang.

Kecenderungan umum tersebut jelas: dalam masyarakatmasyarakat
industri yang paling maju, tingkat kehadiran di gereja
menurun, tidak naik, selama beberapa dekade terakhir; selain itu,
kependetaan umumnya kehilangan otoritas mereka atas publik dan
tidak lagi mampu mendikte publik menyangkut persoalan-persoalan
seperti kontrol kelahiran, perceraian, aborsi, orientasi seks, dan
perlunya pernikahan sebelum kelahiran anak. Sekularisasi tidak
hanya terjadi di Eropa Barat, seperti yang dikemukakan oleh beberapa kritikus (meskipun hal itu pertama kali ditemukan di
sana). Sekularisasi terjadi di sebagian besar masyarakat industri
maju, termasuk Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Kanada.
Amerika Serikat tetap merupakan kasus khusus di kalangan
masyarakat-masyarakat pasca-industri, yang mempunyai publik
yang meyakini padangan dunia yang jauh lebih tradisional
dibanding pandangan dunia dari negara-negara kaya lain kecuali
Irlandia. Namun, bahkan di Amerika, terdapat suatu kecenderungan
yang lebih kecil namun jelas terlihat ke arah sekularisasi;
kecenderungan tersebut sebagian tertutupi oleh imigrasi besarbesaran
orang-orang dengan pandangan dunia yang relatif
tradisional (dan angka kesuburan yang tinggi) dari negara-negara
Hispanik dan oleh tingkat ketidaksetaraan ekonomi yang relatif
tinggi; namun ketika seseorang mengontrol faktor-faktor ini,
bahkan di Amerika Serikat terdapat suatu gerakan yang signifikan
ke arah sekularisasi.Meskipun demikian, menganggap bahwa sekularisasi maju
dengan pesat dan bahwa agama pada akhirnya akan menghilang di
seluruh dunia adalah sebuah kesalahan besar. Kesimpulan kami yang
kedua adalah bahwa karena kecenderungan-kecenderungan
demografis dalam masyarakat-masyarakat yang lebih miskin, di
dunia secara keseluruhan sekarang ini terdapat lebih banyak orang
dengan pandangan keagamaan tradisional dibanding sebelumnya—
dan mereka merupakan bagian yang semakin bertambah dari
penduduk dunia. Masyarakat-masyarakat kaya menjadi sekular,
namun mereka hanyalah bagian kecil dari penduduk dunia;
sementara masyarakat-masyarakat miskin tidak tersekularkan dan
mereka adalah bagian yang semakin besar dari penduduk dunia.
Dengan demikian, modernisasi memang mengakibatkan pelemahan
agama dalam hampir semua negeri yang mengalaminya, namun
persentase penduduk dunia yang menganggap agama penting makin
meningkat.Angka-angka kesuburan yang berbeda dari masyarakat religius
dan sekular sama sekali bukan kebetulan belaka; sebaliknya, hal itu
secara langsung terkait dengan sekularisasi. Pergeseran dari nilainilai
keagamaan tradisional ke nilai-nilai sekular-rasional meng -
akibatkan pergeseran budaya dari penekanan pada peran tradisional
perempuan—yang hidupnya sebagian besar terbatas pada meng -
hasilkan dan memelihara banyak anak, pertama di bawah otoritas
ayah mereka dan kemudian suami mereka, dengan sedikit otonomi
dan sedikit pilihan di luar rumah—ke suatu dunia di mana perempuan mempunyai lingkup pilihan hidup yang semakin luas,
dan sebagian besar perempuan mempunyai karir dan kepentingan di
luar rumah. Pergeseran budaya ini terkait dengan kemerosotan
dramatis dalam angka kesuburan. Baik religiusitas maupun
kemajuan manusia mempunyai pengaruh yang kuat pada angka
kesuburan, seperti yang akan kami perlihatkan. Bukti-bukti
memperlihatkan bahwa kemajuan manusia menyebabkan berbagai
perubahan budaya yang secara drastis mengurangi (1) religiusitas
dan (2) angka kesuburan. Kemakmuran yang semakin meningkat
tidak secara otomatis menghasilkan perubahan-perubahan ini,
namun sangat besar kemungkinannya bahwa hal itu demikian,
karena ia cenderung menghasilkan berbagai perubahan penting
dalam sistem keyakinan dan struktur sosial massa.

Yang terakhir, kami memprediksikan, meskipun kami belum bisa
memperlihatkan, bahwa kesenjangan yang makin lebar antara
masyarakat yang sakral dan yang sekular di seluruh dunia akan
mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi politik dunia,
yang meningkatkan peran agama pada agenda internasional.
Terlepas dari komentar populer, hal ini tidak berarti bahwa situasi
ini niscaya akan menghasilkan konflik etno-religius yang lebih
intens, di dalam suatu negara atau antar-negara. Setelah peristiwa
9/11, dan intervensi militer Amerika di Afganistan dan Irak, banyak
komentator percaya bahwa peristiwa-peristiwa ini mencerminkan
suatu benturan peradaban yang sangat kuat. Tetapi kita tidak boleh
mengasumsikan sebuah penjelasan monokausal yang sederhana.
Pada tahun-tahun terakhir ini, banyak perang saudara yang berlarutlarut
telah berhasil dihentikan melalui penyelesaian-penyelesaian
negosiasi, termasuk di Angola, Somalia, dan Sudan. Perkiraan
independen yang paling terpercaya dari jumlah dan kerasnya
insiden konflik etnik dan perang-perang besar di seluruh dunia
memperlihatkan bahwa suatu “dividen perdamaian” yang cukup
besar telah terjadi selama era pasca-Perang Dingin. Laporan
Minorities at Risk memperkirakan bahwa jumlah insiden tersebut
memuncak pada pertengahan 1980-an, dan kemudian menurun,
sehingga pada akhir 2002 konflik etnik mencapai tingkat terendah -
nya sejak awal 1960-an. Bagaimanapun, kami percaya bahwa
perubahan berbagai sikap yang berbeda terhadap isu-isu moral yang
ditemukan dalam masyarakat tradisional dan modern tersebut, yang
dicontohkan oleh persetujuan atau penolakan terhadap liberalisasi
seksual, kesetaraan perempuan, perceraian, aborsi, dan hak-hak
kaum gay, menghamparkan suatu tantangan penting bagi toleransi sosial. Perdebatan kontemporer tentang isu-isu ini disimbolkan oleh
kemungkinan perpecahan di dalam Gereja Anglikan sehubungan
dengan pentahbisan di Amerika atas Pendeta Gene Robinson,
seorang uskup yang jelas-jelas gay. Perbedaan-perbedaan budaya
antara nilai-nilai yang lebih religius dan lebih sekular mungkin akan
memicu perdebatan hangat tentang banyak persoalan etis kompleks
yang lain, seperti legalisasi eutanasia di Belanda, pemberlakuan
hukum Syariah yang kaku bagi pelaku zina di Nigeria, atau adanya
hak-hak reproduktif di Amerika Serikat. Meskipun demikian, kami
tetap bersikap sangat agnostik menyangkut apakah perbedaanperbedaan
budaya dalam hal nilai-nilai keagamaan niscaya akan
mengakibatkan pecahnya kekerasan yang berlarut-larut, per musuh -
an bersenjata, atau konflik internasional, suatu isu penting yang
berada jauh di luar lingkup studi ini.


Mendemonstrasikan Teori itu

Buku ini akan mengkaji bukti-bukti sistematis yang terkait dengan
rangkaian proposisi tersebut di atas, dan menyelidiki apakah tingkat
kemajuan masyarakat secara konsisten berkaitan dengan pola-pola
nilai, keyakinan dan perilaku religius. Jika kami benar, kami akan
menemukan berbagai perbedaan yang jelas antara masyarakat
agraris, industri, dan pasca-industri dalam indikator-indikator
religiusitas, seperti partisipasi dalam ibadah harian dan kehadiran
reguler di gereja, di luar ritual-ritual yang murni simbolis yang
berhubungan dengan kelahiran, pernikahan, dan kematian, dan
perayaan hari-hari besar keagamaan.

Studi ini mengkaji bukti-bukti bagi penjelasan kognitif,
fungsionalis, dan sisi-penawaran dari sekularisasi yang telah kita
diskusikan, dan menemukan sedikit bukti yang secara konsisten
mendukung teori-teori ini. Klaim utama dalam argumen Weberian
adalah bahwa tersebarnya pengetahuan ilmiah dan naiknya tingkat
pendidikan akan menghasilkan suatu kecenderungan universal ke
arah suatu pandangan dunia yang semakin rasional, dalam semua
masyarakat industri. Jika hal ini benar, maka hal ini mengandaikan
bahwa sekularisasi paling deras seharusnya terjadi di kalangan
mereka yang paling terdidik dan mereka yang meyakini dan
menghargai ilmu pengetahuan. Namun kami tidak menemukan
kecenderungan universal seperti itu: seperti yang akan kami
perlihatkan, sekularisasi paling kuat terkait dengan apakah publik dari suatu masyarakat tertentu telah mengalami tingkat keamanan
ekonomi dan fisik yang relatif tinggi atau belum. Selain itu,
interpretasi Weberian tersebut menekankan faktor-faktor kognitif
yang cenderung tidak dapat dibalikkan dan universal: tersebarnya
ilmu pengetahuan ilmiah tersebut tidak menghilang pada masa krisis
atau kemunduran ekonomi. Jika hal ini merupakan sebab dominan
dari sekularisasi, kami tidak akan berharap untuk menemukan
fluktuasi dalam religiusitas yang terkait dengan berbagai tingkat
keamanan.

Jika teori sekularisasi yang telah diperbaiki yang didasarkan pada
keamanan eksistensial ini benar, dan jika pola-pola budaya dari
religiusitas adalah koheren dan dapat diprediksikan, maka
proposisi-proposisi atau hipotesis-hipotesis khusus tertentu mun -
cul—yang masing-masing akan diuji dalam studi ini dengan meng -
gunakan perbandingan-perbandingan antarnegara, kecenderungankecenderungan
dari waktu ke waktu, dan analisis generasi.


(i) Perbandingan-perbandingan Antarnegara
Proposisi dasar pertama kami adalah bahwa tingkat modernisasi
masyarakat, kemajuan manusia, dan kesetaraan ekonomi
memengaruhi kuatnya religiusitas—yakni nilai-nilai, keyakinankeyakinan,
dan praktik-praktik agama yang ada dalam suatu
masyarakat. Kami menganggap bahwa masyarakat-masyarakat praindustri
yang lebih miskin, yang paling rentan terhadap ancaman
bencana alam dan bahaya-bahaya sosial, paling mungkin untuk
menekankan sangat pentingnya agama. Sebaliknya, agama akan
diberi prioritas yang lebih rendah oleh publik dari masyarakatmasyarakat
pasca-industri yang makmur, yang hidup dalam tingkat
keamanan fisik dan sosial yang lebih tinggi. Kami berharap me -
nemukan perbandingan-perbandingan serupa bagi banyak indikator
religiusitas yang lain, termasuk kuatnya identitas keagamaan,
keyakinan-keyakinan teologis, kesetiaan pada sikap-sikap moral
tradisional, dan kebiasaan ibadah dan praktik keagamaan seperti
berdoa dan kehadiran pada layanan-layanan ibadah. Kenyataan bahwa
kita mempunyai data survei dari hampir 80 masyarakat—yang
mencakup beragam variasi, mulai dari perekonomian-per ekonomi -
an dengan penghasilan rendah hingga negara-negara pasca-industri
yang makmur, serta mencakup semua tradisi keagamaan besar—
memungkinkan kita untuk menguji hipotesis-hipotesis ini dalam
suatu cara yang lebih konklusif dibanding sebelumnya.


(ii) Membandingkan Budaya-budaya Keagamaan
yang Dominan

Namun kami juga menganggap bahwa warisan historis tradisi
keagamaan yang dominan di masing-masing masyarakat akan turut
membentuk kesetiaan pada nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan
praktik-praktik keagamaan tertentu. Oleh karena itu, kami berharap
bahwa budaya keagamaan yang dominan tersebut akan menerakan
jejaknya pada masing-masing masyarakat, dan memberi dampak
pada bagaimana modernisasi masyarakat mempengaruhi pola-pola
keyakinan dan praktik keagamaan. Sebagai akibatnya, berbagai
variasi penting dalam religiusitas bisa ada bahkan di antara
masyarakat-masyarakat yang mempunyai tingkat perkembangan
sosio-ekonomi yang mirip. Untuk menguji proposisi ini, kami akan
membandingkan masyarakat-masyarakat yang diklasifikasikan
menurut budaya keagamaan dominan mereka.


(iii) Perbandingan-perbandingan Generasional

Dalam masyarakat-masyarakat yang telah mengalami periodeperiode
pertumbuhan ekonomi dan keamanan fisik yang terus
meningkat (seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang), atau
pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat (seperti Korea Selatan dan
Taiwan), kami berharap menemukan berbagai perbedaan substansial
dalam nilai-nilai keagamaan yang diyakini oleh generasi yang lebih
tua dan lebih muda. Dalam masyarakat-masyarakat seperti itu,
kaum muda seharusnya terbukti kurang religius dalam nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik mereka, sementara
kelompok yang lebih tua seharusnya memperlihatkan orientasi yang
lebih tradisional, karena nilai-nilai dasar tidak berubah semalam;
bahkan, teori sosialisasi mengandaikan bahwa kami seharusnya
menemukan suatu jeda waktu (time lag) yang substansial antara
keadaan-keadaan ekonomi yang berubah dan dampak mereka pada
nilai-nilai keagamaan yang umum berlaku, karena orang-orang
dewasa tetap mempertahankan norma-norma, nilai-nilai, dan
keyakinan-keyakinan yang ditanamkan selama tahun-tahun
pertumbuhan pra-dewasa mereka. Nilai-nilai budaya berubah
ketika kelompok-kelompok anak yang lebih muda, yang dibentuk
oleh pengalaman-pengalaman perkembangan yang khas, meng -
gantikan orang-orang yang lebih tua. Karena kami menghipotesis -
kan bahwa perbedaan-perbedaan generasi ini mencerminkan
pertumbuhan ekonomi dan kemajuan manusia, kami tidak akan berharap untuk menemukan berbagai perbedaan generasi yang
besar menyangkut agama dalam masyarakat-masyarakat seperti
Nigeria, Aljazair, atau Bangladesh, yang tidak mengalami kemajuan
besar ke arah perkembangan manusia selama beberapa dekade
terakhir. Dalam kasus-kasus itu kami memperkirakan bahwa kaum
muda sepenuhnya sama religiusnya dengan kaum tua. Merosotnya
religiusitas tidak mencerminkan keniscayaan persebaran ilmu
pengetahuan dan pendidikan; hal itu tergantung pada apakah
orang-orang dalam suatu masyarakat mengalami keamanan
eksistensial yang meningkat–atau apakah mereka mengalami
stagnasi ekonomi, kegagalan negara, atau runtuhnya negara ke -
sejahteraan, seperti yang terjadi dalam perekonomian-perekonomi -
an pasca-Komunis yang kurang berhasil.


(iv) Perbandingan-perbandingan Sektoral

Tesis sekularisasi yang didasarkan atas keamanan eksistensial
tersebut mengandaikan bahwa kantong pembilahan utama dalam
memprediksikan religiusitas adalah kontras antara masyarakatmasyarakat
kaya dan miskin. Kami juga memperkirakan bahwa
sektor-sektor sosial yang lebih rentan di dalam suatu masyarakat
tertentu, seperti kaum miskin, kalangan tua, mereka dengan tingkat
pendidikan dan melek huruf yang rendah, dan kaum perempuan,
akan lebih religius, bahkan dalam masyarakat-masyarakat pascaindustri.
Lebih jauh, perbedaan-perbedaan sosial terbesar diperkira -
kan ada dalam masyarakat-masyarakat di mana penghasilan ter -
distribusikan secara paling tidak setara.


(v) Pola-pola Demografi, Angka Kesuburan,
dan Perubahan Penduduk

Tesis kami menyatakan bahwa angka kesuburan secara sistematis
terkait dengan kuatnya religiusitas dan pembangunan manusia.
Meskipun tingkat harapan hidup jauh lebih rendah di masyarakatmasyarakat
yang lebih miskin, kami berharap menemukan bahwa
negara-negara dengan religiusitas terkuat mempunyai pertumbuhan
penduduk yang lebih besar dibanding masyarakat-masyarakat sekular.


(vi) Konsekuensi-konsekuensi Sosial dan Politik

Di mana proses sekularisasi telah terjadi, kami berharap hal ini
mempunyai berbagai konsekuensi penting bagi masyarakat dan politik, khususnya dengan memperlemah pengaruh religiusitas
terhadap penerimaan nilai-nilai moral, sosial, ekonomi, dan politik,
dan dengan mengikis keterlibatan aktif seseorang dalam organisasiorganisasi
dan partai-partai keagamaan, serta dengan mengurangi
kuatnya identitas keagamaan dan konflik etno-religius dalam
masyarakat...




















































Pengertian Ulama


1. Pengertian Ulama
Perkataan ulama berasal dari bahasa Arab, jama' (plural) dari kata 'alim yang berarti orang yang mengetahui, orang yang berilmu. Ulama berarti para ahli ilmu atau paraahli pengetahuan atau para ilmiawan.
Pemakaian perkataan ini di Indonesia agak bergeser sedikit dari pengertian aslinya dalam'bahasa Arab. Di Indonesia,

alem diartikan seorang yang jujur dan tidak brmyak bicara.Perkataan Ulama dipakai dalam arti mufrad (singular) sehingga kalau dimaksud jama', ditambah perkataan parasebelumnya, atau diulang, sesuai dengan kaedah bahasaIndonesia, sehingga menjadi para ulama atau ulama-ulama Bandingkan Alfian, 1975: 22). Di Aceh khususnya dan di Indonesia pada umumnya, perkataan ulama hanya digunakan untuk para ahli agama Islam saja. Tetapi sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menggunakan juga perkataan ulama itu untuk para ahli agama Budha dan Hindu, para ahli agama Khatolik dan para ahli agama Kristen, sehingga dalam M.P.R.S. terdapat golongan ulama yang terdiri dari Ulama Islam, Ulama Khatolik, Ulama Kristen, serta Ulama Hindu dan Ulama Budha. Yang dimaksud dengan Ulama dalam judul tulisan ini adalah Ulama Islam. Karena selain dari lebih dekat dengan pengertian aslinya, juga karena sampai sekarang, orang Aceh yang tinggal di Aceh, tidak ada yang beragama selain dari agama Islam.